Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) adalah organisasi penggiat perlindungan anak yang kelembagaannya disahkan oleh Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI, serta kepengurusannya diresmikan oleh Surat Keputusan Menteri Sosial RI.
LPAI sebagai lembaga independen yang aktif menjalankan kegiatan pemenuhan hak dan kepentingan terbaik anak sejak tahun 1997.
Konsumsi produk tembakau di Indonesia yang tinggi dan terus meningkat di berbagai kalangan masyarakat, mengancam kesehatan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Data GATS 2011 menunjukkan prevalensi merokok orang dewasa Indonesia sebesar 34,8 persen terbagi atas 67,4 persen laki-laki, dan 4,5 persen perempuan (GATS,2011). Sementara itu, dikalangan remaja 15-19 tahun sebesar 38,4 persen laki-laki dan 0,9 persen perempuan (RISKESDAS, 2010).
Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2009, menunjukkan 20,3 persen anak sekolah 13-15 tahun merokok. Perokok pemula usia 10-14 tahun naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5 persen pada tahun 2001 menjadi 17,5 persen pada tahun 2010 (SKRT, 2001, RISKESDAS, 2010).
Yang sangat mengkhawatirkan adalah jumlah perokok anak ikut meningkat. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.
Prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya, pada tahun 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20 persen, kemudian naik menjadi 8,80 persen tahun 2016, 9,10 persen tahun 2018, 10,70 persen tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16 persen di tahun 2030.
Gobal Youth Tobacco Survey (2000) menemukan sebanyak 73-80 persen remaja terpapar iklan rokok berbagai jenis melalui bermacam media. Media yang paling banyak digunakan untuk mengiklankan produk tembakau adalah kegiatan olahraga, kegiatan-kegiatan remaja lainnya dan papan reklame atau billboards (80 persen).
Di Jakarta, 93,9 persen remaja melihat iklan di billboard, 88,7 perseb melihat iklan di televisi dan bahkan lebih banyak lagi (92,4 persen) melihat iklan selama kegiatan olah raga dan acara remaja.
Rata-rata 11 persen remaja di dunia pernah ditawari rokok oleh pabrik rokok dan di Jakarta, persentasenya ternyata lebih tinggi yaitu 13,2 persen.
Berkaitan dengan hal tersebut, LPAI menggagas salah satu program, yaitu TC Warrior, dengan tujuan membentuk dan meningkatkan kapasitas kelompok anak dan remaja yang memiliki pengetahuan, peka terhadap lingkungan sekitar, mampu untuk menggerakan perubahan sosial pemberantasan perilaku merokok dikalangan anak dan remaja, serta berperan aktif dalam kampanye perlindungan anak dari gempuran paparan iklan, promosi, dan sponsor rokok yang secara sistematis dan strategis menargetkan anak sebagai penerus perokok.
Dengan menerapkan pola youth engagement and empowerment, program TC Warriors mengedepankan prinsip kemandirian dan pelibatan anak dalam menggagas ide, mendesain kegiatan, mengimplementasi kegiatan di daerah secara bermakna.
Adapun partisipan dari kegiatan ini adalah anak yang beruasia di bawah 18 tahun, yang direkrut melalui koordinasi dan komunikasi dengan 10 mitra LPA atau LPAI daerah. Proses seleksi dilakukan sesuai minat dan kebersediaan anak untuk mengikuti serangkaian kegiatan pelatihan yang dilaksanakan secara daring dan luring. Lima perwakilan anak yang terpilih kemudian mengikuti pembekalan dari ahli dan praktik lapangan yang didampingi pengurus LPA atau LPAI di daerah masing-masing.
Sepuluh mitra LPA atau LPAI daerah, berasal dari Provinsi Jambi, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi NTT, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Program TC Warior ini telah dilakukan secara daring (online), yaitu Focus Grup Discussion dan secara Luring (offline), yaitu Small Group Discussion.
Adapun hasil dari kegiatan TC Warrior tersebut yaitu:
1. Perlu adanya penegakan peraturan KTR yang lebih serius terkait pelanggaran pemasangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok di jalan utama dan tempat umum di setiap daerah, khususnya di 10 (sepuluh) Provinsi Sample.
2. Perlu ada sinergi yang lebih kuat antara pengambil kebijakan di tingkat daerah, untuk memfasilitasi dan mewadahi aktivitas tindak lanjut advokasi TC Warriors menjadi pelopor dan pelapor lingkungan sehat, yang bebas rokok di lingkungan terdekatnya.
3. Perlu menguatkan kolaborasi pentahelix dalam menyediakan lingkungan yang suportif (support system) bagi kreativitas anak muda, yang terbebas dari intervensi rokok guna menjauhkan anak dari segala bentuk iklan, promosi dan sponsorship yang berafiliasi dengan industri rokok.
4. Perlu inisiasi kerjasama dengan melibatkan organisasi anak atau kepemudaan secara aktif dan bermakna, untuk berkontribusi dalam upaya pencegahan dan edukasi berhenti merokok.
5. Perlu mengembangkan kampanye peningkatan kesadaran tentang bahaya perokok usia dini, dan strategi untuk menghindari keterpaparan IPSR termasuk edukasi pemberdayaan anak dan remaja untuk menolak jadi target industri rokok.
6. Perlu adanya perlindungan khusus untuk anak dengan mendorong Kementerian Pendidikan, untuk memasukan edukasi terkait bahaya rokok ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
7. Mendorong Kementerian Kesehatan untuk membentuk dan melatih tenaga kesehatan, satgas pendidik sebaya dan menyiapkan sarana dan prasarana layanan berhenti merokok yang berpihak dan ramah pada anak.
8. Perlu adanya kehadiran negara yang secara tegas melindungi anak dari bahaya tembakau dan segala bentuk produknya melalui revisi PP 109/2012.
Sampai saat ini terdapat 2 (dua) daerah (TC Warrior Provinsi Bangka Belitung dan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat), yang telah melakukan follow up ke pemerintah daerahnya masing-masing, terkait permasalahan tersebut di atas dan membangun kerjasama dengan pemerintah daerah guna melindungi anak dari ancaman rokok di daerah masing. (red)