Jakarta – Kemenangan Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) dalam perkara gugatan perdata mantan Sekjen PWI Sayid Iskandarsyah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuka babak baru dalam pembongkaran dugaan korupsi dana hibah BUMN yang menyeret nama-nama besar dalam tubuh PWI. Putusan ini bukan hanya menegaskan legalitas tindakan DK PWI, tetapi juga menjadi isyarat tegas bahwa penggarongan dana publik tidak bisa ditutup rapat hanya dengan permainan organisasi.
Pada Senin, 14 April 2025, PN Jakpus melalui sistem e-court secara resmi menyatakan gugatan Sayid tidak dapat diterima. Putusan yang kini berstatus inkracht atau berkekuatan hukum tetap ini menandai berakhirnya manuver hukum Sayid terhadap para anggota DK PWI, termasuk Ketua DK Sasongko Tedjo dan timnya.
“Putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, gugatan Sayid berakhir,” kata Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, SH, LLM, Ketua Tim Advokat Kehormatan Wartawan, yang diketuai bersama Dr. Luhut MP Pangaribuan, Senin (14/4).
Gugatan Sayid bermula dari sanksi yang dijatuhkan DK PWI terkait dugaan penyalahgunaan dana hibah Forum Humas BUMN yang mencapai Rp1,7 miliar lebih. Dalam surat keputusan DK PWI Nomor 21/IV/DK/PWI-P/SK-SR/2024, Sayid bersama Hendry Ch Bangun, M. Ihsan, dan Syarif Hidayatullah diwajibkan mengembalikan dana tersebut ke kas organisasi secara tanggung renteng.
Meski Sayid telah mengembalikan dana Rp1,08 miliar, gugatan tetap diajukan, termasuk tuntutan ganti rugi fantastis mencapai Rp101 miliar lebih. Namun hakim PN Jakpus menyatakan gugatan itu keliru, karena menyangkut masalah internal ormas yang secara hukum tidak bisa diadili oleh pengadilan umum.
“Putusan ini mempertegas kewenangan DK PWI sebagai lembaga etik internal dan menutup ruang kriminalisasi atas penegakan kode etik,” kata Fransiskus Xaverius SH, salah satu anggota tim kuasa hukum DK PWI.
Dengan adanya putusan berkekuatan hukum tetap ini, muncul desakan publik agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mabes Polri, dan Polda Metro Jaya segera memproses laporan dugaan korupsi dana hibah BUMN tersebut. Laporan atas Hendry Bangun dkk sudah dilayangkan sejak tahun lalu, namun belum menunjukkan perkembangan signifikan.
“Putusan ini menjadi bukti sahih bahwa telah terjadi pelanggaran serius yang merugikan keuangan negara. Tidak ada lagi alasan bagi KPK untuk ragu memproses laporan terhadap Hendry Bangun, Sayid, serta pemberi hibah dari lingkungan BUMN, termasuk Menteri BUMN Erick Thohir dan bahkan Presiden saat itu, Joko Widodo, jika terbukti terlibat atau membiarkan,” ujar sumber internal DK PWI yang meminta namanya dirahasiakan.
Ketua DK PWI Sasongko Tedjo menegaskan bahwa putusan ini adalah kemenangan etika dan moral. Ia berharap seluruh anggota PWI menjadikan momentum ini sebagai pelajaran penting untuk menjauhkan organisasi profesi dari kepentingan pragmatis dan korupsi terselubung.
Sementara itu, Ketua Umum PWI Pusat Zulmansyah Sekedang sebelumnya juga telah menyatakan bahwa Hendry Bangun tidak lagi memiliki legal standing dalam tubuh PWI setelah pemberhentiannya yang sah sejak 16 Juli 2024. Karena itu, seluruh upaya hukum yang dilakukan dinilai sebagai manuver sia-sia yang justru mempermalukan PWI.
“Sudah saatnya PWI melangkah ke depan. Tidak ada tempat bagi orang-orang yang mencoreng nama organisasi demi ambisi pribadi dan materi. Kami mendukung penuh langkah hukum selanjutnya,” tegas Zulmansyah.
Dengan putusan pengadilan yang menguatkan tindakan DK PWI, sorotan kini bergeser ke lembaga penegak hukum. Akankah KPK dan kepolisian bertindak tegas? Atau publik kembali disuguhkan drama panjang impunitas kelas elit?
Ketika Putusan Inkracht Menelanjangi Skandal: DK PWI Menang, Saatnya KPK dan Polri Bertindak!
Sebuah kepastian hukum akhirnya menancap kuat di tubuh organisasi jurnalis tertua di negeri ini. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan mantan Sekretaris Jenderal PWI, Sayid Iskandarsyah, terhadap para anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat. Putusan ini tidak hanya menyudahi drama panjang internal organisasi, tetapi juga membuka tirai kebobrokan yang selama ini coba disembunyikan: skandal “cashback” dana hibah BUMN.
Putusan perkara perdata No. 395/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut karena menyangkut urusan internal organisasi kemasyarakatan. Dengan demikian, gugatan Sayid terhadap sembilan tergugat—termasuk Ketua DK PWI Sasongko Tedjo dan Wakil Ketua DK Uni Lubis—secara resmi ditolak dan dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan ini sudah inkracht, karena Sayid tidak mengajukan banding dalam tenggat waktu yang diberikan.
“Putusan ini menegaskan kewenangan DK PWI dalam menangani pelanggaran etika dan integritas di tubuh organisasi,” ujar Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, SH, LLM, Ketua Tim Advokat Kehormatan Wartawan. Tim ini terdiri dari 15 pengacara elite yang dipimpin oleh Todung dan Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, dua tokoh hukum yang dikenal luas integritas dan kiprahnya.
Namun di balik kemenangan hukum ini, ada persoalan yang lebih besar dan lebih gelap: dugaan penggarongan dana publik yang bersumber dari hibah BUMN. Dana tersebut, yang digelontorkan melalui Kementerian BUMN di bawah Menteri Erick Thohir pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, diduga dinikmati segelintir elit di tubuh PWI dengan modus “cashback”.
Sayid Iskandarsyah, bersama Hendry Ch Bangun, M Ihsan, dan Syarif Hidayatullah, disebut harus mengembalikan uang sebesar Rp1,7 miliar ke kas organisasi. Bahkan Sayid sempat mengembalikan dana sebesar Rp1,08 miliar setelah DK PWI melakukan pemeriksaan. Ini menandakan pengakuan tidak langsung bahwa transaksi tersebut memang terjadi.
Menariknya, alih-alih menerima sanksi, Sayid malah menggugat DK PWI dengan dalih kerugian materiil dan immateriil, dengan total nilai gugatan mencengangkan: lebih dari Rp101 miliar. Namun gugatan itu kandas. Majelis hakim melihat bahwa ini adalah ranah internal organisasi yang tunduk pada aturan dan kode etiknya sendiri, bukan wewenang pengadilan umum.
Putusan ini menjadi bukti sahih bahwa skandal hibah BUMN yang berujung pada sanksi terhadap Sayid dkk bukan isapan jempol. Ini adalah pintu masuk hukum yang sah bagi lembaga penegak hukum—KPK, Mabes Polri, dan Polda Metro Jaya—untuk menindaklanjuti laporan dugaan korupsi yang telah dilayangkan oleh masyarakat sipil.
Tidak ada lagi alasan keraguan. Sudah ada pengembalian dana. Sudah ada sanksi etik. Sudah ada putusan hukum berkekuatan tetap. Kini bola ada di tangan aparat penegak hukum.
Jika KPK benar-benar berkomitmen pada pemberantasan korupsi, maka inilah momentum sempurna untuk memeriksa aliran dana hibah BUMN, peran para petinggi PWI, keterlibatan Menteri BUMN saat itu, Erick Thohir, dan bahkan potensi tanggung jawab Presiden Joko Widodo yang kala itu memimpin pemerintahan.
Skandal ini bukan hanya soal organisasi profesi, ini adalah soal uang rakyat yang semestinya digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk bancakan segelintir elit.
Sudah waktunya, hukum bicara lebih keras dari lobi-lobi kekuasaan.
Keadilan telah membuka pintu, tinggal siapa yang berani masuk dan menegakkannya. (TIM/Red)