MK Tolak Uji Materi UU Pers: Kemerdekaan Pers atau Kekebalan Dewan Pers

oleh -33 Dilihat

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tetap sakral dan tak perlu disentuh. Beberapa permohonan uji materi yang diajukan terhadap pasal-pasal kunci dalam UU Pers ditolak mentah-mentah, seolah menyiratkan bahwa segala sesuatu yang menyangkut Dewan Pers harus diterima sebagai hukum alam.

Sejumlah pihak yang mengajukan uji materi menilai ada ketimpangan dalam UU Pers, terutama terkait peran Dewan Pers yang dianggap terlalu eksklusif dalam menentukan standar organisasi pers dan mekanisme penyelesaian sengketa. Namun, MK dengan sigap menegaskan bahwa semuanya sudah sesuai dengan UUD 1945.

*Dewan Pers: Malaikat Penjaga atau Penentu Nasib Pers?*

Putusan MK ini disambut hangat oleh Ketua Dewan Pers saat itu, Prof. Azyumardi Azra, yang menyebutnya sebagai kemenangan bagi kemerdekaan pers. Tapi, kemenangan siapa sebenarnya?

Jika ditelisik lebih dalam, UU Pers memang melindungi kebebasan pers, tetapi juga memberikan “kekebalan” bagi Dewan Pers untuk menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menjadi bagian dari ekosistem jurnalistik.

Bagi media kecil atau wartawan independen, regulasi yang dipegang Dewan Pers bisa menjadi pagar tinggi yang sulit dilewati. Bukannya membebaskan, sistem ini justru berpotensi membatasi keberagaman media dengan mewajibkan sertifikasi, verifikasi, dan berbagai prosedur administratif yang lebih menyerupai lisensi eksklusif.

*Mengapa Uji Materi Ditolak?*

Beberapa pasal yang diuji sebenarnya cukup menarik untuk diperdebatkan. Salah satunya adalah Pasal 15 ayat (2) huruf f, yang berkaitan dengan tugas Dewan Pers dalam mendata perusahaan pers. Sejumlah pemohon merasa pendataan ini bisa menjadi alat diskriminasi terselubung, di mana media yang tak masuk daftar “resmi” berisiko tak diakui keberadaannya.

Namun, MK menolak kekhawatiran ini, dengan argumen bahwa mekanisme yang ada justru melindungi kemerdekaan pers.

Demikian pula pada uji materi tahun 2023 terhadap Pasal 15 ayat (2) huruf d, yang mengatur tentang penyelesaian sengketa pers. Pemohon menilai frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” terlalu bias dan berpotensi multitafsir. Tapi lagi-lagi, MK memilih mempertahankan status quo.

*Kebebasan Pers: Milik Semua atau Hanya Segelintir?*

Putusan MK ini mengundang pertanyaan besar: apakah kebebasan pers masih dimiliki oleh semua jurnalis dan media, atau hanya oleh mereka yang “diakui” oleh Dewan Pers?

Faktanya, banyak organisasi pers alternatif dan media independen yang merasa dibatasi oleh aturan-aturan yang dibuat tanpa partisipasi luas dari komunitas jurnalis.

Di sisi lain, keputusan MK ini juga menjadi sinyal bahwa siapa pun yang ingin mengubah tata kelola pers di Indonesia harus siap menghadapi tembok tinggi yang sulit ditembus.

Jadi, apakah kemerdekaan pers di Indonesia benar-benar untuk semua? Atau hanya untuk mereka yang berada dalam lingkaran yang diakui oleh otoritas tertentu?

Jawabannya mungkin tidak tertulis di UUD 1945, tetapi bisa dirasakan oleh mereka yang setiap hari berjuang di lapangan tanpa label “terverifikasi” dari pihak tertentu. (TIM/Red)

Sumber : DPN PPWI Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.