*MENGKRITISI PILKADA TUNGGAL DI BANGKA BELITUNG : ANTARA KEPASTIAN HUKUM DAN KRISIS PARTISIPASI POLITIK *

oleh -112 Dilihat

Oleh : Alia Ani Safitri(Mahasiswa hukum Universitas Bangka Belitung )

“kotak kosong pilihan ku” begitulah pemikiran segelintir masyarakat Bangka Belitung khususnya kota Pangkal Pinang dalam PEMILU(Pemilihan umum) tahun 2024-2029. Fenomena kotak kosong muncul di Pangkal Pinang dalam pemilihan wali kota. Di tengah harapan masyarakat yang ingin mendapatkan pemimpin daerah yang baik untuk membangun daerah menjadi lebih maju,muncul fenomena pemilihan tunggal atau kotak kosong sebagai lawan dari pasangan calon tunggal yang ada di provinsi tersebut.

Adanya pemilihan kotak kosong ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar masyarakat luar mengenai partisipasi politik, pluralisme politik dan efektifitas sistem hukum pemerintahan daerah. Dalam Pemilihan Wali Kota Pangkalpinang 2024, kotak kosong berhasil mengalahkan pasangan calon tunggal Maulan Aklil (Molen) dan Masagus M Hakim dengan selisih suara yang signifikan. Berdasarkan hasil rekapitulasi resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Pangkalpinang, kotak kosong memperoleh 48.528 suara (57,97%), sementara pasangan Molen-Hakim meraih 35.177 suara (42,02%). Dengan demikian, selisih suara antara keduanya mencapai 13.351 suara. Kemenangan kotak kosong ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap calon tunggal yang diusung oleh partai politik, serta dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi elite politik . Akibat hasil ini, sesuai dengan peraturan yang berlaku, Pilkada Pangkalpinang dijadwalkan untuk diulang pada 27 Agustus 2025 .

Secara hukum pada pasal 45 huruf C Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang PILKADA memang di perbolehkan adanya pilkada tunggal dalam pemilu. Didalam aturan tersebut di jelaskan bahwa akan di adakan pemilihan apabila salah satu pasangan calon kepala daerah telah memenuhi syarat yang telah di tentukan dan masyarakat pada daerah tersebut dapat memilih calon kepala daerah yang ada maupun memilih kotak kosong. Dari sudut pandang Pilkada tunggal di Bangka Belitung mencerminkan bukan hanya minimnya alternatif politik, tetapi juga kurangnya kaderisasi ataupun partisipasi politik di tingkat daerah. Parpol (Partai politik ) cenderung pragmatis, enggan mencalonkan figur ataupun sosok yang tidak dianggap “ dia pasti menang,” atau malah berbaur dalam satu koalisi besar tanpa oposisi.

Meskipun pada saat pemilihan umum kotak kosong kalah,kepala daerah yang menang dengan mengalahkan kotak kosong tersebut cenderung menghadapi defisit legitimasi publik, terutama jika tingkat partisipasi rendah atau selisih suara tipis. Situasi ini dapat berdampak pada stabilitas pemerintahan daerah, efektivitas pengambilan kebijakan, serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik lokal. Oleh karena itu, penting bagi peraturan perundang-undangan ke depan untuk tidak hanya mengakomodasi aspek prosedural, tetapi juga memperkuat sistem kaderisasi, membuka ruang lebih besar bagi calon independen, serta mendorong partisipasi politik yang sehat.

Kotak kosong, dalam konteks hukum pemerintahan daerah, adalah alarm sistemik. Ia menandai perlunya perbaikan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah agar tidak hanya memenuhi asas legalitas, tetapi juga menjamin legitimasi dan keberlanjutan demokrasi lokal yang sehat.

Hal ini menggerus keragaman pilihan politik bagi rakyat yang ada di suatu daerah pemilihan terutama di Bangka Belitung. Di sisi lain, fenomena kotak kosong justru menjadi saluran protes diam-diam masyarakat.Kotak kosong bukan sekadar pilihan pasif, tetapi bisa menjadi simbol penolakan terhadap dominasi politik yang tidak sehat. Tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadikan alasan untuk memilih kotak kosong sebagai pilihan yang tepat. Dalam beberapa kasus, kotak kosong menang, seperti yang pernah terjadi di beberapa daerah seperti Makassar dan sekarang terjadi di Provinsi tercinta yaitu Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat tidak hanya ingin pemilu diselenggarakan, tetapi juga ingin punya pilihan yang nyata dan bermakna bukan hanya terpaku kepada satu pencalon kepala daerah.

Fenomena ini juga menandakan krisis partisipasi politik, bukan dalam arti rendahnya angka kehadiran semata, tetapi rendahnya keterlibatan substantif masyarakat dalam proses demokrasi. Demokrasi tidak cukup diukur dari seberapa banyak orang datang ke TPS, tetapi juga seberapa luas ruang yang diberikan kepada rakyat untuk memilih, mengkritik, dan bahkan menolak calon yang tidak mereka kehendaki. Sebagai bagian dari sistem desentralisasi dan otonomi daerah, pilkada adalah instrumen penting dalam memilih pemimpin yang memahami kebutuhan lokal. Namun, ketika hanya ada satu calon, maka proses seleksi itu menjadi semu. Di sinilah hukum pemerintahan daerah harus melampaui formalitas prosedural dan mulai mendorong substansi demokratis.

Beberapa usulan reformasi penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu adanya revisi ambang batas pencalonan agar tidak terlalu tinggi dan memberi ruang bagi lebih banyak calon independen,Penguatan pendidikan politik di daerah untuk mendorong partisipasi aktif warga dan membangun kesadaran demokrasi serta Peran lebih aktif KPU dan Bawaslu dalam memfasilitasi keadilan kontestasi dan pengawasan terhadap dominasi kekuasaan politik lokal.

Pilkada tunggal di Bangka Belitung adalah peringatan bahwa demokrasi lokal kita sedang kehilangan dinamika kompetitifnya. Kepastian hukum memang penting, tetapi demokrasi tidak boleh berhenti pada legalitas semata. Demokrasi harus hidup dalam pluralitas gagasan, kompetisi yang adil, dan partisipasi politik yang bermakna. Ketika pilihan hanya satu, dan rakyat dipaksa memilih antara “ya” atau “tidak”, maka yang kita jalankan bukan demokrasi deliberatif, melainkan demokrasi simbolik.Sudah saatnya kita mengevaluasi ulang sistem politik lokal kita bukan hanya untuk mencegah kotak kosong, tetapi untuk menghidupkan kembali semangat demokrasi yang sejati di daerah ini.

Pilkada bukan hanya di lakukan untuk memilih siapa yang pantas memimpin namun siapa yang pantas untuk memajukan kehidupan di Bangka Belitung selama lima tahun kedepan. Partisipasi masyarakat juga perlu dukungan dan bantuan dari pemerintah untuk sama-sama memajukan daerah ini. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk para pemimpin daerah memimpin daerah ini,maka pilihlah pemimpin yang ingin maju bersama,amanah dan melakukan proses nyata bukan hanya Sekedar kata-kata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.