*Jokowi, Raja Jawa Tanpa Ijazah: Ketika Demokrasi Menyerupai Kerajaan*

oleh -33 Dilihat

“Di tengah polemik keaslian ijazah, publik menjuluki Joko Widodo sebagai “Raja Jawa”—sebuah metafora politik yang mengisyaratkan bahwa legitimasi bisa lahir bukan dari dokumen, melainkan dari kekuasaan itu sendiri”.

Jakarta — Dalam sejarah kepemimpinan Nusantara, raja tak pernah ditanya ijazah. Ia naik takhta bukan karena ijazah sarjana, melainkan karena restu leluhur, wahyu langit, atau garis darah. Dan kini, di tengah sistem demokrasi modern yang menjunjung meritokrasi dan legalitas administratif, muncul sosok yang disebut-sebut “Raja Jawa”: Joko Widodo.

Julukan itu bukan tanpa alasan. Selama dua periode menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Jokowi memimpin negara seperti seorang pemimpin tradisional yang dekat dengan rakyat, namun juga tak tersentuh kritik. Bahkan saat isu keaslian ijazahnya mencuat ke publik, respons yang muncul pun cenderung mistis ketimbang administratif.

*Dari Solo Menuju Singgasana*

Jokowi memulai karier politik dari Kota Solo, kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya menduduki kursi RI-1. Tapi dalam narasi yang terus diputar ulang, keberhasilan itu bukan karena keunggulan akademik, melainkan karena “kesederhanaan”, “kerakyatan”, dan “kharisma”.

Sebuah aura kepemimpinan yang tak bisa dibuktikan dengan fotokopi ijazah, tapi lebih pada simbol-simbol: baju putih lengan digulung, blusukan ke gang sempit, dan pidato tanpa teks. Gaya ini membuatnya dihormati sekaligus disakralkan.

*Ijazah? Bukan Syarat Jadi Raja*

Ketika publik bertanya soal keabsahan ijazahnya dari Universitas Gadjah Mada, para pembela langsung menyuarakan bahwa kepemimpinan Jokowi terbukti nyata, bukan soal kertas semata. Maka lahirlah pembenaran: “Raja tak butuh ijazah.”

Dalam logika ini, legalitas bisa dikalahkan oleh loyalitas. Administrasi tunduk pada popularitas. Demokrasi pun seolah menjelma menjadi monarki, di mana rakyat cukup percaya, tak perlu bertanya.

*Politik Dinasti dan Keabadian Warisan*

Julukan “Raja Jawa” makin kental saat Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, melesat menjadi Wali Kota Solo dan kini Calon Wakil Presiden. Seperti raja yang mewariskan takhta pada pangeran muda, politik dinasti pun tak lagi tabu.

“Kalau bapaknya raja, anaknya otomatis pangeran,” celetuk seorang aktivis mahasiswa dalam aksi demonstrasi di Solo beberapa waktu lalu.

*Jokowi dalam Cermin Sejarah*

Di Jawa, raja adalah bayangan Dewa. Ia dipuja, dikhidmati, dan kadang didekati dengan mantra. Kini, dalam politik kontemporer, Jokowi pun diperlakukan seperti itu—dikelilingi pujian, ditaburi kultus, bahkan saat pertanyaan sederhana tentang ijazah pun dijawab dengan amarah atau olok-olok.

Di tengah itu semua, kita seolah lupa bahwa republik ini berdiri atas hukum, bukan kharisma. Atas konstitusi, bukan kultus personal.

* Demokrasi atau Monarki Berkedok Rakyat?*

Julukan “Raja Jawa” pada Jokowi bisa jadi hanya sindiran. Tapi ia mencerminkan rasa frustrasi atas sistem demokrasi yang dilumpuhkan oleh kekuatan simbol. Jika benar ijazah bukan soal besar, lantas kenapa UU Pemilu tetap mencantumkan pendidikan sebagai syarat? Atau kita perlu ubah saja undang-undangnya: cukup berkharisma, dan rakyat akan mengabdi?

Indonesia mungkin belum jadi kerajaan. Tapi bila logika “raja tak perlu ijazah” terus dibiarkan, jangan salahkan sejarah bila kelak demokrasi hanya tinggal nama—dan republik hanya upacara. (Tim/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.