ARTIKEL OPINI
Oleh: Lidia
Mahasiswi Universitas Bangka Belitung
Jaminan fidusia di Indonesia diatur dalam Menurut Undang-Undang No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, fidusia didefinisikan sebagai “hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan untuk pelunasan utang tertentu”. Artinya, walaupun kepemilikan objek jaminan berpindah ke kreditur sebagai pemberi fidusia, benda itu tetap berada di tangan debitur (nasabah). Undang-undang ini memberikan keistimewaan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia memiliki titel eksekutorial (Pasal 15 ayat 1), sehingga pada prinsipnya kreditur dapat mengeksekusi obyek jaminan tanpa harus melewati proses pengadilan sebagaimana pelelangan publik biasa. Secara ideal, lembaga fidusia memberikan kepastian hukum lebih tinggi kepada kreditur saat memberikan kredit. Namun, Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU 42/1999 yang menyamakan kekuatan eksekutorial Sertifikat Fidusia dengan putusan pengadilan serta memberi hak kreditur menarik agunan “atas kekuasaannya sendiri” telah menuai kontroversi.
Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan ketentuan tersebut pada 2019. Sesuai dengan keputusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, eksekusi fidusia tetap harus dilakukan melalui mekanisme hukum yang memadai. Menurut keputusan ini, sertifikat fidusia baru dapat dieksekusi jika debitur gagal membayar dan secara sukarela menyerahkan jaminan, atau jika telah ada penetapan pengadilan. Artinya, klausul “kekuatan eksekutorial” dan eksekusi sepihak tidak boleh ditafsirkan mutlak memberi hak absolut kepada kreditur. Jika eksekusi dilanggar, penarikan paksa dapat dianggap perampasan, sesuai dengan MK (Pasal 368 KUHP). Upaya pemohon berikutnya pada 2021 (No. 2/PUU-XIX/2021) telah ditolak oleh MK untuk mempersempit interpretasi ini, sehingga ketentuan fidusia tetap berlaku dengan interpretasi yang disebutkan di atas. Secara keseluruhan, UU Fidusia sejak awal mengakui kemudahan eksekusi bagi kreditur, namun MK menegaskan bahwa hak tersebut harus dibatasi oleh due process—melibatkan persetujuan pengadilan atau perjanjian tertulis antara pihak-pihak terkait.
Di lapangan, perbedaan antara teori hukum dan praktik seringkali menyolok. Idealnya, penarikan agunan fidusia atau kendaraan bermotor hanya dapat dilakukan setelah proses hukum selesai. Kreditur harus memiliki akta fidusia yang terdaftar dan sertifikat fidusia yang sah, dan jika debitur tidak menyerahkan secara sukarela, maka kreditur wajib mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri untuk mendapatkan penetapan. Namun kenyataannya, banyak perusahaan pembiayaan atau aplikasi fintech memilih melewatkan prosedur resmi karena biaya dan birokrasi. Dalam praktik, muncullah fenomena “mata elang” – sebutan bagi debt collector jalanan yang kerap mengincar kendaraan konsumen kredit macet. Mereka bekerja secara kolektif di jalanan, menghentikan orang yang tidak memiliki surat kuasa resmi dan bahkan melakukan intimidasi agar mereka langsung menyerahkan kendaraan mereka. Parahnya, beberapa debt collector melancarkan aksi kekerasan saat menagih: memukuli debitur, melukai atau merusak kendaraan. Praktik ini melanggar hak debitur dan undang-undang, karena menurut pasal 15, eksekusi fidusia tidak boleh dilakukan sembarangan tanpa persetujuan hukum. Banyak penagih berusaha menarik jaminan tanpa persetujuan pengadilan atau debitur, bahkan dengan bantuan debt collector yang tidak berwenang. Ketika itu terjadi, tindakan paksa tersebut telah menciderai hak debitur dan bertentangan dengan prinsip keadilan kontraktual.
Berbagai contoh kasus nyata viral tahun 2024–2025 menggambarkan konflik ini. Di Pekanbaru, April 2025, seorang debitur diserang oleh sekelompok pembayaran hutang, merusak mobil korban di halaman Mapolsek Bukit Raya. Kepolisian Daerah Riau menegaskan, hanya pihak yang sah (pemilik leasing) yang dapat melakukan eksekusi fidusia, dan itu pun harus berdasarkan putusan pengadilan. Di Semarang (Oktober 2023), polisi menangkap enam penagih utang yang dituduh menarik paksa kendaraan milik warga disertai intimidasi dan kekerasan. Satu orang pimpinan perusahaan debt collector bahkan menjadi buron selama setahun akibat kasus pencurian dan perampasan kendaraan, baru ditangkap Agustus 2024. Di Jambi (Mei 2025) video seorang warga ditarik paksa oleh debt collector saat melintas di jalanan memicu kemarahan publik. Dirreskrimum Polda Jambi pun memberi peringatan keras: eksekusi fidusia harus mendapat penetapan pengadilan atau minimal kesepakatan tertulis dengan debitur, tidak boleh dilakukan dengan kekerasan atau intimidasi. Bahkan di Jakarta Utara (Mei 2025) Kapolres setempat secara terbuka mengingatkan debt collector untuk tidak memaksa mengambil kendaraan debitur, karena sudah ada prosedur fidusia yang harus diikuti. Kasus-kasus lain juga pernah tercatat, seperti di Bekasi atau Mataram, di mana debt collector yang melakukan penarikan paksa dilaporkan ke polisi. Semua contoh ini menunjukkan bahwa di banyak tempat, penagih hutang jalanan sering melakukan tindakan di luar batas undang-undang, menyebabkan keresahan publik dan konflik.
Menanggapi situasi tersebut, aparat penegak hukum dan pemerintah lembaga perlindungan konsumen bereaksi tegas. Kapolri melalui Surat Edaran No. SE/2/II/2021 menegaskan bahwa polisi dilarang terlibat membantu penarikan barang fidusia tanpa putusan pengadilan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggarisbawahi kewajiban pelaku usaha pembiayaan memberikan informasi jelas kepada konsumen serta memperlakukan konsumen secara adil, sedangkan BPKN bersama OJK secara berkala mengingatkan bahwa penarikan paksa di jalanan adalah ilegal. Misalnya, BPKN menyatakan konsumen berhak tidak ditarik kendaraannya di jalan raya; kreditur harus mengajukan eksekusi lewat pengadilan. Masyarakat dapat melapor ke BPKN atau OJK jika menemukan penagihan yang tidak sesuai dengan undang-undang. Polda Riau juga mengimbau korban untuk melaporkan penarikan paksa, dan Polda Jambi bahkan menunggu laporan untuk menindak pelaku secara pidana. Dalam praktek, pihak kepolisian di berbagai daerah (Jakarta, Riau, Jambi, Jateng) telah menangkap oknum debt collector yang meresahkan, dengan pasal yang menjerat mulai dari pengeroyokan (Pasal 170 KUHP) hingga pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP). Dalam pernyataan mereka, Kapolres dan Kapolda mengingatkan bahwa hanya perusahaan pembiayaan yang terdaftar yang dapat menarik jaminan dan harus melakukannya sesuai dengan keputusan pengadilan. Posisi pemerintah pun diperkuat DPR dan Komisi Hukum, yang mendesak negara tegas melindungi rakyat dari teror “debt collector”.
Dari perspektif akademisi dan kriminolog, persoalan ini kian serius karena melibatkan aspek pidana dan HAM. Ahli hukum menegaskan bahwa konstruksi fidusia tidak memberikan hak absolut kepada kreditur untuk mengeksekusi sepihak tanpa memperhatikan due process. Hukum perdata memberi ruang bagi kreditur mengeksekusi jaminan bila debitur ingkar janji, namun eksekusi itu harus dilakukan sesuai prosedur dan tidak melanggar prinsip keadilan. Mahkamah Agung pun pernah menolak gugatan pembiayaan dalam kasus penarikan sepihak, menegaskan bahwa eksekusi di luar prosedur melanggar hak kepemilikan debitur (Putusan MA 3195 K/Pdt/2016). Secara pidana, kriminolog melihat tindakan penarikan paksa sebagai bentuk perampasan (Pasal 368 KUHP) atau setidaknya tindak kekerasan (Pasal 365 KUHP). Komnas HAM dan pakar psikologi menyoroti dampak intimidasi DC: korban bisa trauma, depresi, bahkan timbul pemikiran untuk bunuh diri. Sementara Komisi Hukum DPR menyatakan bahwa negara harus melindungi kreditur, kriminolog Prof. Adrianus Meliala mengatakan bahwa “tekanan perusahaan” dan ketimpangan sosial adalah penyebab utama kekerasan kreditur. Sebagian ahli menyarankan pendekatan restoratif: memberikan kesempatan restrukturisasi utang atau mediasi sebelum menempuh eksekusi, demi menghindari kriminalisasi konsumen lemah. Mereka juga mendorong reformasi hukum pembiayaan: memperkuat perlindungan debitur dan menyeimbangkan kepentingan kreditur dan konsumen dalam UU Fidusia maupun peraturan OJK.
*Rekomendasi Kebijakan*: Untuk menyelesaikan konflik hukum ini, diperlukan langkah terpadu. Pertama, penegakan hukum harus konsisten: polisi dan penegak hukum lainnya wajib menindak tegas tindakan penarikan paksa atau pemerasan oleh oknum debt collector, serta perusahaan pembiayaan yang membiarkannya. Denda dan sanksi pidana harus dikenakan, serta pencabutan izin usaha kepada pelanggar berat. Kapolri dan kementerian/lembaga terkait perlu mengawasi implementasi Surat Edaran agar polisi tak terlibat pelanggaran fidusia. Kedua, masyarakat harus dididik tentang hak-hak mereka, seperti hak untuk menolak penarikan di jalan, dan prosedur eksekusi yang sah, seperti pengajuan ke pengadilan. Media dan Lembaga Perlindungan Konsumen perlu mensosialisasikan betul ketentuan UU Fidusia dan kode etik penagihan. Ketiga, pemerintah harus meningkatkan peran mediasinya. Ini berarti memperluas Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dan mekanisme restukturisasi utang untuk memberikan debitur dan kreditur pilihan penyelesaian yang saling menguntungkan tanpa menggunakan kekerasan. Terakhir, undang-undang kelembagaan harus diperbaiki. Misalnya, OJK dapat mewajibkan pendaftaran dan sertifikasi debt collector, memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan POJK Perlindungan Konsumen, dan memberi sanksi administratif, seperti denda atau pencabutan izin terhadap lembaga pembiayaan yang menyalahi etika penagihan. Selain itu, dapat dipertimbangkan untuk merevisi UU Fidusia agar lebih jelas melindungi konsumen dan mencegah praktik buruk. Dengan kombinasi penegakan hukum yang tegas, edukasi publik, dan perbaikan regulasi, diharapkan ke depan praktik penagihan utang yang legal dan adil bisa ditegakkan, demi menjaga keseimbangan antara kepentingan kreditur dan perlindungan konsumen.
*BIODATA SINGKAT*
Nama lengkap: Lidia
Profesi: Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Nomor telepon: 083175040361
Alamat email: lidiaamanda39@gmail.com