Jakarta – Polemik kembali mencuat di dunia pers Indonesia. Di tengah isu dugaan penyelewengan dana hibah BUMN yang seharusnya digunakan untuk Uji Kompetensi Wartawan (UKW), Dewan Pers justru menerbitkan surat edaran yang menuai kontroversi.
Surat edaran tersebut melarang instansi pemerintah maupun pihak lain untuk melayani permintaan dari media, baik yang berasal dari organisasi pers, perusahaan pers, maupun organisasi wartawan. Alasan yang dikemukakan adalah untuk mencegah penipuan dan penyalahgunaan profesi jurnalis. Namun, banyak pihak menilai langkah ini sebagai upaya membungkam media yang tengah menyoroti dugaan skandal korupsi di tubuh Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Dugaan Korupsi Dana Hibah UKW
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, secara terbuka sempat menuntut aparat penegak hukum untuk segera mengusut kasus ini. Ia menyoroti peran mantan Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch Bangun, yang diduga terlibat dalam penyelewengan dana tersebut.
“Hendry Ch Bangun harus segera ditetapkan sebagai tersangka! Dana hibah yang seharusnya digunakan untuk peningkatan kompetensi wartawan justru diduga disalahgunakan oleh oknum pengurus PWI. Jika kasus ini tidak segera ditindak, maka dunia pers akan menjadi sarang mafia yang melindungi koruptor,” tegas Wilson.
Dugaan penyimpangan ini melibatkan dana miliaran rupiah yang dialokasikan untuk UKW. Namun, alih-alih digunakan sesuai tujuan, dana tersebut diduga mengalir ke kantong pribadi sejumlah pihak.
Pengamat hukum Agung Setiawan juga sempat menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar konflik internal organisasi, melainkan persoalan hukum yang harus diselesaikan secara transparan.
“Ini menyangkut keuangan negara. Dugaan korupsi yang terjadi harus diusut tuntas agar dunia pers tidak dicemari praktik-praktik kotor,” ujarnya.
Kemenkumham Blokir Akses PWI: Langkah Hukum atau Manuver Politik?
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), melalui Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU), resmi memblokir akses Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) milik PWI.
Pemblokiran ini dilakukan atas permintaan Dewan Kehormatan PWI melalui surat bernomor 52/DK/PWI-P/VII/2024 tertanggal 16 Juli 2024. Direktur Badan Usaha Kemenkumham, Santun M. Siregar, menegaskan bahwa permohonan ini telah diproses sesuai prosedur.
Namun, keputusan ini memunculkan tanda tanya. Apakah ini murni langkah hukum, atau ada unsur tekanan politik?
Pengamat hukum tata negara, Dr. Anwar Firman, menilai bahwa pemblokiran akses ini harus dijelaskan secara terbuka agar tidak menimbulkan spekulasi di masyarakat.
“Jika ini menyangkut kepentingan publik, maka harus ada transparansi. Jangan sampai langkah ini justru digunakan untuk menutupi skandal yang lebih besar,” katanya.
Dewan Pers: Pengawas Media atau Alat Kontrol?
Dewan Pers yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kebebasan pers kini justru menuai kritik. Surat edaran yang melarang instansi pemerintah dan pihak lainnya melayani permintaan dari media dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap jurnalis yang kritis.
“Dewan Pers seharusnya memperjuangkan kebebasan pers, bukan malah membatasi kerja jurnalistik! Langkah ini hanya akan semakin memperburuk kondisi pers di Indonesia,” ujar Wilson Lalengke.
Ia juga menduga bahwa beberapa komisioner Dewan Pers ikut menikmati aliran dana hibah yang diduga diselewengkan.
“Jika tudingan ini terbukti, maka Dewan Pers bukan lagi sebagai pelindung kebebasan pers, melainkan bagian dari skandal besar,” tambahnya.
Masa Depan Pers Indonesia: Terancam atau Bangkit?
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah kebebasan pers di Indonesia sedang berada di ambang kehancuran?
Apakah dunia jurnalistik masih memiliki independensi atau telah dikendalikan oleh kepentingan tertentu?
Akankah kasus ini benar-benar diusut atau justru akan tenggelam seperti banyak kasus korupsi lainnya?
Wilson Lalengke menyerukan agar seluruh jurnalis bersatu untuk membersihkan dunia pers dari praktik korupsi.
“Jika kita tidak bertindak sekarang, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Mari kita lawan korupsi di dunia pers!” serunya.
Kini, semua mata tertuju pada aparat penegak hukum. Akankah mereka berani mengusut tuntas kasus ini? Ataukah pers Indonesia akan terus dikendalikan oleh segelintir elite yang hanya mementingkan kepentingan pribadi?
Yang pasti, pers harus tetap independen. Jika intervensi dan korupsi terus dibiarkan, kebebasan pers di Indonesia hanya akan menjadi sebuah ilusi.
(Tim Red)