**
Jakarta – Sidang gugatan yang diajukan oleh dr. Reno Yovial, seorang calon legislatif (caleg) yang gagal, terhadap Ustadz Endang Sudarso (Tergugat I) di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Jakarta Timur memasuki babak baru. Salah satu saksi yang dihadirkan oleh pihak penggugat, Ade Saputra, diduga memberikan keterangan palsu di persidangan pada Kamis, 20 Februari 2025. Jika terbukti, saksi ini bisa dijerat Pasal 242 KUHP yang mengatur tentang pemberian keterangan palsu di bawah sumpah dengan ancaman pidana penjara.
Sidang yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB ini menghadirkan Ade Saputra sebagai saksi kedua dari pihak penggugat. Namun, keterangan yang diberikan Ade justru menimbulkan kontroversi. Menurut advokat H. Alfan Sari, SH, MH, MM, selaku kuasa hukum Ustadz Endang Sudarso, keterangan yang diberikan oleh Ade dinilai berbelit-belit dan bertolak belakang dengan fakta yang sudah terungkap di persidangan sebelumnya.
Senada dengan pernyataan Alfan Sari, Efendi Santoso, SH, MH, anggota tim pengacara yang juga Direktur POSBAKUMADIN di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, menyebut bahwa Ade Saputra tidak jujur dalam memberikan kesaksiannya.
“Saudara Ade Saputra sudah memberikan keterangan yang menyesatkan. Kesaksiannya tidak sesuai dengan fakta yang telah diungkap dalam persidangan. Ini bisa berdampak serius karena memberikan keterangan palsu di persidangan adalah tindakan pidana,” ujar Efendi Santoso.
Dalam persidangan, Ade Saputra mengklaim bahwa ketika ia mengunjungi kediaman Tergugat II, Guntur Wibawanto, di Tebet, ia duduk terpisah dari Ustadz Endang Sudarso (Tergugat I) dan Tergugat III. Menurut keterangannya, ia tidak berada dalam ruangan yang sama saat berlangsungnya pembicaraan mengenai bisnis dana investasi yang menjadi pokok perkara.
Namun, keterangan ini dibantah oleh saksi lain, Muhamad Hadi, yang sebelumnya telah memberikan kesaksiannya di persidangan. Berdasarkan keterangan Hadi, Ade Saputra saat itu justru duduk bersama dirinya di ruang garasi yang sudah disediakan bangku, bersama Tergugat I dan III. Keterangan ini berbeda dengan yang disampaikan Ade, sehingga menimbulkan dugaan bahwa Ade berusaha menutupi fakta yang sebenarnya.
Lebih lanjut, Ade Saputra juga diduga telah menyebarkan informasi yang menyesatkan kepada saksi Muhamad Hadi sebelum persidangan. Dalam rekaman berdurasi 40 menit 53 detik yang disampaikan oleh tim kuasa hukum Tergugat I, Ade Saputra menyebut bahwa dr. Reno Yovial telah menyerahkan sejumlah uang kepada Ustadz Endang dan Ustadz Abu. Pernyataan ini dipertanyakan karena tidak sesuai dengan bukti-bukti yang telah diajukan.
Selain keterangan yang tidak konsisten, Ade Saputra juga diduga menutupi fakta terkait surat Perjanjian Pembayaran Atas Jaminan Pengembalian Pinjaman. Advokat H. Alfan Sari mengungkapkan bahwa surat perjanjian bernomor 02/Reno Yovial/Endang Sudarso, Guntur Wibawanto, H. Abu Bakar/VI/2024 ini sebenarnya telah dibuat terlebih dahulu oleh kuasa hukum penggugat sebelum diberikan kepada para tergugat untuk ditandatangani.
“Fakta yang diungkap di persidangan menunjukkan bahwa surat perjanjian itu sudah dalam format ketikan yang rapi sebelum sampai ke tangan para tergugat. Surat itu diantar langsung oleh kuasa hukum penggugat bersama saksi Ade Saputra ke kediaman Ustadz Endang Sudarso. Namun, Ade mencoba menutupi fakta ini saat persidangan,” ujar Alfan Sari.
Selain dugaan kesaksian palsu, ada pula indikasi bahwa kuasa hukum penggugat diduga berusaha menggiring opini para tergugat dengan bujuk rayu atau bahkan ancaman agar mereka menandatangani surat perjanjian tersebut.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Amirah Luthfiyyah Marchellia, mahasiswi magang dari Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia yang tergabung dalam kantor hukum Alfan Sari & Rekan. Amirah, yang mengikuti jalannya persidangan sejak awal, menegaskan bahwa seluruh fakta dalam persidangan harus dikumpulkan secara objektif.
“Semua keterangan dalam persidangan adalah produk hukum yang harus berdasarkan fakta, bukan rekayasa. Jika ada indikasi penggiringan opini atau paksaan, hal itu harus diungkap agar tidak ada pihak yang dirugikan secara hukum,” ungkap Amirah.
Mengacu pada Pasal 242 KUHP, seseorang yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah dapat dikenakan hukuman pidana. Dalam hal ini, jika terbukti bahwa Ade Saputra sengaja memberikan keterangan palsu, ia bisa diproses hukum dan menghadapi ancaman pidana penjara.
“Ini bukan sekadar kesalahan kecil. Memberikan keterangan palsu di persidangan bisa berdampak besar, terutama dalam kasus perdata seperti ini. Jika ada bukti kuat, maka saksi bisa dilaporkan secara pidana,” kata Efendi Santoso.
Sidang berikutnya dijadwalkan pekan depan Kamis, 27 Februari 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak tergugat. Kuasa hukum Tergugat I menyatakan akan menghadirkan saksi-saksi lain yang dapat menguatkan fakta di persidangan.
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan dugaan kesaksian palsu yang bisa berujung pada konsekuensi hukum serius. Apakah saksi akan diproses secara hukum, atau apakah ada fakta baru yang akan terungkap? Semua akan bergantung pada jalannya persidangan selanjutnya. (SAD/Red)