Ketika Kebebasan Berekspresi Menjadi Senjata Untuk Mengujar Kebencian

oleh -13 Dilihat

Penulis
Jolie Cristyandra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Kebebasan merupakan salah satu hak asasi yang paling dijunjung tinggi dan disoroti dalam dunia demokratis. Ia menjadi roh dari kebebasan berpikir, berpendapat, dan berinovasi. Namun kini di era media social, kebebasan itu malah sering berubah bentuk – dari ruang dialog yang sehat menjadi ladang ujaran kebencian. Ironisnya banyak yang membela kebencian itu dengan dalih “kebebasan berekspresi”.

Di Indonesia, kebebasan berekspresi sendiri diatur dan dijamin pada pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan pada pasal 23 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Namun, kebebasan itu bukan tanpa batas. Negara memiliki kewajiban dalam melindungi warga negaranya dari ujaran yang menimbulkan kebencian, diskriminasi, atau bahkan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Disinilah letak dilema hukum dan moral kita: Dimana batas antara kritik dan kebencian ?
Kebebasan yang disalah artikan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita melihat betapa mudahnya seseorang menyebarkan kebencian lewat media social. Ujaran dengan membawa agama, ras, dan orientasi sering kali dikemas dalam bentuk “opini public” atau “kritik social”. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian orang masih menganggap bahwa kebebasan berekspresi sebagai hak mutlak – seolah olah ucapan yang diucapkan dan dipublikasikan bebas dari tanggung jawab dan moral. Padahal kebebasan tanpa tanggung jawab hanyalah bentuk lain dari kekacauan.

Hukum dan batas yang samar
Sebenarnya hukum Indonesia telah mengatur larangan ujaran kebencian berbasis SARA, yakni dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi Elektronik (UU ITE). Namun sering kali penerapannya tidak konsisten. Dalam banyak kasus yang terjadi, pasal ini malah digunakan untuk membungkam masyarakat dalam mengkritik pemerintah, bukan untuk menindak penyebar kebencian yang sebenarnya. Akibatnya, muncul paradoks: mereka yang berbicara dengan niat membangun justru dibungkam, sedangkan yang menyebar kebencian berlindung dibalik dua kata yakni “kebebasan berekspresi”. Masalah ini bukan hanya ada pada aturan yang diberlakukan, tetapi juga cara pandang aparat negara dan masyarakat terhadap perbedaan pendapat. Kita masih sering gagal dalam membedakan antara kritik yang sehat dan membangun dengan ujaran yang berbahaya.

Etika digital yang menghilang
Media sosial yang memberi setiap orang mikrofon tanpa filter. Sayangnya, tidak semua orang siap menggunakannya dengan bijak. Banyak yang lebih suka menjadi “hakim” dibanding menjadi pendengar yang baik. Akibatnya, banyak ruang public digital yang dipenuhi dengan kebisingan, amarah dan juga miskin empati. Padahal, esensi kebebasan berpikir adalah membuka ruang bagi perbedaan – bukan memaksa orang lain berpikir sama.

Kebebasan yang seharusnya mendorong masyarakat untuk berpikir kritis dan saling bertoleransi dengan saling memahami, bukan malah menyalakan api permusuhan. Karena itu, Pendidikan literasi digital etika komunikasi menjadi kunci paling penting dalam membangun budaya hukum yang sehat didalam dunia maya.

Penutup
Kebebasan berekspresi merupakan hak dan sekaligus tanggung jawab. Hukum tidak boleh digunakan untuk membungkam para kritikus-kritikus yang membangun dan malah mentolerir terhadap ujaran kebencian yang dapat melukai dan menimbulkan berbagai masalah dikedepannya. Sudah saatnya kita menegakkan prinsip: bicara boleh keras, tapi tidak untuk melukai. Jika kebebasan berekspresi berubah menjadi senjata untuk mengujar kebencian dan pemecah persatuan, maka yang mati bukan hanya rasa empati dan hormat diantara kita, tetapi juga nilai kemanusiaan yang menjadi dasar hukum itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.