Kebijakan yang Mengancam Masa Depan Bangsa

oleh -12 Dilihat
Oplus_131072

Mahasiswa UBB Turut Serta Gelorakan Aspirasi

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan putusan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, yang mana kebijakan ini mengharuskan efisiensi anggaran belanja APBN. Langkah ini berdampak signifikan pada sektor pendidikan, dengan pemangkasan anggaran di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek). Pemotongan ini mencakup belanja alat tulis kantor, perjalanan dinas, dan belanja terkait lainnya. Secara garis besar, yang juga berdampak pada penurunan kualitas infrastruktur, fasilitas, dan kesejahteraan tenaga pendidik.
Kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB) yang menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Mereka menyampaikan delapan tuntutan, salah satunya menolak pemangkasan anggaran pendidikan yang dianggap mengancam kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Indonesia. Hasil dari unjuk rasa tersebut semua tuntutan Mahasiswa UBB ditampung dan diterima oleh DPRD Provinsi Bangka Belitung, menindaklanjuti penanganan tersebut masih dipantau dan di kawal oleh Mahasiswa UBB selama berselang waktu berjalan. Gerakan ini tidak hanya sebagai bentuk unjuk rasa, namun juga sebagai perwujudan aspirasi kritis terhadap kebijakan yang, menurut mereka, dapat membawa Indonesia ke ambang kegelapan. Di tengah gelombang kontroversi, penting untuk mengupas secara mendalam implikasi hukum, moral, dan strategis dari kebijakan ini.
Dari perspektif hukum, kebijakan efisiensi anggaran ini mengundang berbagai pertanyaan mendasar mengenai kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konstitusional. Konstitusi Indonesia melalui UUD 1945, misalnya, telah menekankan pentingnya pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara. Kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas seharusnya tidak terganggu oleh upaya penghematan yang secara sepihak merugikan sektor vital tersebut. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Dengan mengurangi anggaran pendidikan secara signifikan, pemerintah seolah mengabaikan prinsip desentralisasi dan kolaborasi yang sudah tertuang dalam hukum. Tindakan pemerintah ini, bila ditelaah secara yuridis, dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok ekonomi atas dan bawah. Lebih lanjut, pemangkasan anggaran ini dapat menghambat upaya pemerintah dalam mencapai target pembangunan pendidikan jangka panjang, seperti peningkatan angka partisipasi sekolah dan penurunan angka buta huruf. Tanpa dukungan anggaran yang memadai, program-program strategis di bidang pendidikan berisiko tidak berjalan optimal, yang pada akhirnya merugikan generasi muda dan masa depan bangsa.

Selain kebijakan kontroversial tersebut, tuntutan lainnya yang diajukan mencakup penolakan Rancangan perubahan RUU MINERBA, yang juga menolak peranan ganda TNI/POLRI yang mengarah ke dwifungsi TNI/POLRI, menjadi permasalahan krusial yang perlu diangkat dan disuarakan untuk diperhatikan pemerintah. Turut serta, permasalahan lokal seperti kasus kematian Aldo yang merupakan hasil malpraktik RSUD Depati Hamzah Pangkalpinang belum terungkap kejelasannya sehingga perlu di kawal supaya menemukan titik terang. Hal ini termasuk moralitas untuk memanusiakan manusia (Hak Asasi Individu).
Tuntutan utamanya berfokus menyoroti kebijakan efisiensi anggaran (pemangkasan anggaran). Dari sisi pemerintah, menanggapi dari kebijakan ini, bahwa pemangkasan anggaran diperlukan untuk membiayai program makan siang gratis, yang memerlukan biaya besar-besaran. Namun, mengalihkan dana dari sektor pendidikan untuk membiayai program lain, meskipun memiliki tujuan mulia (Makan Gratis) adalah pendekatan yang tidak berkelanjutan dan dapat merugikan investasi jangka panjang dalam sumber daya manusia. Pendidikan adalah fondasi utama bagi pembangunan bangsa, dan mengurangi investasinya sama dengan mengorbankan masa depan generasi mendatang.
Pemerintah harus mencari solusi alternatif yang tidak merugikan sektor pendidikan, mengingat investasi di bidang ini adalah kunci untuk masa depan bangsa yang lebih cerah dan berdaya saing tinggi. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang lebih holistik dan inklusif, yang menghargai peran pendidikan sebagai investasi utama dalam pembangunan bangsa. Harapan mahasiswa dengan adanya unjuk rasa lewat penyuaran aspirasi kritis ini, pemerintah dapat meninjau kembali langkah-langkah yang diambil dan mengutamakan kepentingan jangka panjang rakyat Indonesia.
Penulis :
Departemen Kajian dan Aksi Strategis HIMAHUM UBB 2025



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.