*Kasus Dua Identitas Sihar Sitorus dan “Negara yang Diam” Ada Apa dengan Aparat Penegak Hukum di Indonesia?*

oleh -21 Dilihat

Medan – Pertanyaan lama kembali menggema di ruang publik: ada apa dengan aparat penegak hukum di Indonesia? Pertanyaan itu menemukan relevansinya setelah munculnya surat resmi dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Utara, yang secara resmi menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana administrasi kependudukan atas nama Sihar Pangihutan Hamonangan Sitorus alias Sihar Sitorus.

Surat bernomor B/615/IX/RES.1.24/2025/Ditreskrimsus tertanggal September 2025 itu ditujukan kepada pelapor Legiman Pranata, yang sebelumnya mengadukan dugaan manipulasi identitas ganda Sihar Sitorus ke Kepolisian. Namun, hasilnya mengejutkan: penyelidikan dihentikan karena dianggap “bukan merupakan tindak pidana”.

Padahal, dugaan kepemilikan dua identitas berbeda itu memiliki implikasi hukum yang serius. Sebab, sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, setiap warga negara hanya boleh memiliki satu Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pelanggaran terhadap hal itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana administrasi kependudukan.

Kasus ini bukan sekadar soal individu bernama Sihar Sitorus. Ini adalah soal integritas sistem kependudukan nasional. Ketika seorang warga bisa memiliki dua identitas berbeda dan ketika laporan resmi tentang hal itu dihentikan tanpa transparansi publik berhak bertanya:
di mana negara dalam menegakkan keadilan administratif?

Sebagai pelapor, Legiman Pranata bahkan telah menempuh jalur resmi: mulai dari pelaporan ke Ditreskrimsus Polda Sumut, hingga upaya advokasi melalui Mabes Polri dan Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil). Namun, alih-alih mendapatkan kepastian hukum, proses tersebut justru jalan di tempat.

Lebih ironis lagi, laporan yang semestinya menjadi bukti kerja profesional aparat malah berakhir dengan kalimat dingin: “bukan tindak pidana.”
Pernyataan itu justru membuka ruang pertanyaan baru, apakah aparat benar-benar memahami esensi hukum administrasi kependudukan, atau ada kekuatan lain yang menghambat penegakan hukumnya?

Fenomena seperti ini menambah panjang daftar kasus di mana penegakan hukum di Indonesia tampak kehilangan arah. Dalam banyak kasus, aparat cenderung berhenti di tahap formalitas, tanpa keberanian untuk menggali kebenaran substantif.

Publik tentu tidak bisa tinggal diam. Sebab, jika hukum bisa diabaikan hanya karena seseorang memiliki pengaruh atau posisi tertentu, maka keadilan telah kehilangan maknanya.

Kasus Sihar Sitorus hanya satu contoh kecil dari penyakit besar dalam sistem hukum kita: penegakan hukum yang elitis, selektif, dan tidak transparan.

Di sinilah peran jurnalis dan media menjadi krusial. Melalui publikasi dan advokasi berbasis dokumen resmi seperti SP2HP dari Polda Sumut ini, masyarakat bisa melihat ketidakhadiran negara dalam menegakkan hukum dasar kependudukan.

Menurut sejumlah pakar hukum administrasi dari beberapa pengkajian mereka dengan pola beberapa kasus yang sama, penghentian penyelidikan atas dugaan pelanggaran kependudukan merupakan bentuk kelalaian aparat terhadap fungsi kontrol hukum negara.

“UU Nomor 24 Tahun 2013 itu bukan hiasan. Kalau ada dua NIK dengan identitas sama, itu berarti ada cacat sistem dan harus diselidiki sampai tuntas. Menghentikan penyelidikan tanpa membuka hasil audit administrasi adalah pelanggaran terhadap asas keterbukaan publik,” tegasnya.

Sementara itu, beberapa aktivis Transparansi Hukum Nasional menilai kasus ini memperlihatkan indikasi kuat adanya perlakuan berbeda dalam penegakan hukum.

“Kalau yang dilaporkan orang kecil, pasti cepat ditangkap. Tapi kalau punya posisi, jaringan, atau akses kekuasaan, tiba-tiba hukum jadi tumpul. Inilah wajah nyata ketimpangan hukum di Indonesia,” katanya.

“Negara Absen dalam Menjaga Integritas Identitas Warga.”

Jika aparat penegak hukum menutup mata terhadap kasus yang jelas-jelas berdampak pada kredibilitas sistem administrasi negara, maka sudah saatnya Ombudsman RI, Komnas HAM, dan Kementerian Dalam Negeri turun tangan.

Ketika laporan warga tak lagi didengar, dan lembaga penegak hukum hanya sibuk mencari alasan administratif untuk menutup perkara, maka sejatinya kita sedang menyaksikan kemunduran fungsi negara hukum.
Hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan, apalagi pada kepentingan pribadi.
Dan tugas media, masyarakat sipil, serta para jurnalis independen adalah memastikan kebenaran tidak mati hanya karena diamnya aparat. (TIM/Red)

Catatan Redaksi :
Apabila ada pihak pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email media Jalurlangit.id, Terimakasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.