Jakarta – Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mengemuka setelah sejumlah aktivis dan tokoh hukum menyuarakan kembali tudingan bahwa dokumen pendidikan yang digunakan sang mantan kepala negara sejak menjadi Wali Kota Solo hingga Presiden Republik Indonesia tidak otentik. Meski Universitas Gadjah Mada (UGM) telah membantahnya, narasi “ijazah palsu” tetap membara di ruang publik.
Bukan sekadar rumor, isu ini kini menjelma menjadi pertarungan antara akal sehat dan legitimasi kekuasaan yang selama sepuluh tahun terakhir membentuk wajah Indonesia. Tapi satu pertanyaan kunci menggantung di udara: Apa yang akan terjadi jika ijazah itu benar-benar palsu?
Apabila terbukti bahwa ijazah Jokowi tidak sah, maka secara moral dan politik, legitimasi seluruh masa jabatannya bisa dianggap cacat. Ini bukan hanya soal lembar kertas, tapi soal integritas. Kebijakan, undang-undang, bahkan keputusan-keputusan strategis nasional yang ditandatangani seorang presiden dengan identitas yang tak valid, bisa digugat keabsahannya.
“Ini bukan urusan personal. Ini soal keabsahan pemimpin negara,” kata seorang pengamat hukum tata negara yang enggan disebut namanya pada Minggu (13/4/2025).
Meskipun Jokowi tak lagi menjabat, pemalsuan dokumen merupakan tindak pidana umum yang tak mengenal masa jabatan. Pelaku pemalsuan bisa dijerat Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Jika terbukti ada yang turut membantu atau memfasilitasi, maka jaring hukum bisa melebar hingga ke elite kampus, partai politik, bahkan penyelenggara pemilu.
Selain itu, kelompok masyarakat sipil bisa mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap lembaga negara yang lalai memverifikasi dokumen saat pencalonan.
Partai yang mengusung Jokowi pun tak luput dari imbas. Isu ini bisa menjadi amunisi politik yang menggoyang elektabilitas para penerusnya. Sejarah kepemimpinan pun bisa ditulis ulang: dari narasi sukses “anak tukang kayu” menjadi kisah manipulasi sistemik.
“Bukan tak mungkin, jika terbukti, kasus ini akan menjadi turning point dalam demokrasi Indonesia, sekaligus preseden untuk memperbaiki sistem verifikasi calon pemimpin,” ujar Damai Hari Lubis, seorang pengacara yang aktif mendampingi penggugat dalam kasus ini.
Kasus ini juga menjadi refleksi atas lemahnya fungsi pengawasan masyarakat, termasuk media dan lembaga akademik. Mengapa selama hampir dua dekade tidak ada yang berhasil membuktikan atau membantah secara tuntas?
Apakah ada ketakutan? Ataukah sistem memang terlalu rapat dikunci?
Simak Video Investigasi Lengkap:
Perkara ini bukan semata soal masa lalu. Ini soal kejujuran dalam berdemokrasi. Ketika rakyat pernah dipimpin oleh seseorang yang diduga menyembunyikan identitas akademiknya, maka setiap warga negara berhak bertanya, menggugat, dan menuntut kejelasan.
Satu hal yang pasti: jika dugaan ini terbukti, maka akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu skandal politik terbesar di Indonesia — di mana ijazah menjadi simbol dari kegagalan kolektif sistem demokrasi. (SAD/Red)