Jakarta – Polemik dualisme kepengurusan dalam tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) terus menjadi perbincangan hangat, Kamis (13/3/2025). Dua kubu yang mengklaim kepemimpinan sah hingga kini belum menemukan titik terang. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah: mengapa PWI tidak membawa kasus ini ke ranah hukum untuk penyelesaian?
Konflik semacam ini bukan kali pertama terjadi dalam organisasi besar di Indonesia. Biasanya, penyelesaian melalui jalur hukum menjadi langkah terakhir guna memastikan legitimasi kepengurusan. Namun, hingga saat ini, PWI tampaknya memilih untuk tidak menempuh jalur tersebut.
Takut Legitimasi Dipertanyakan?
Para pengamat hukum menilai, salah satu alasan utama mengapa PWI enggan membawa masalah ini ke pengadilan adalah risiko kehilangan legitimasi bagi salah satu kubu. Jika konflik ini masuk ke meja hijau, maka pengadilan akan menggali bukti-bukti berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PWI, serta melihat proses pemilihan kepengurusan mana yang lebih sah.
“Kalau sudah masuk ke pengadilan, bisa jadi ada fakta-fakta yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak. Ini bisa menjadi bumerang, terutama jika salah satu kubu merasa tidak memiliki dasar hukum yang kuat,” kata [Nama Pakar Hukum], seorang pengamat hukum organisasi.
Faktor Kepentingan Internal dan Politik
Selain itu, faktor kepentingan internal juga disebut-sebut sebagai alasan utama PWI lebih memilih membiarkan dualisme ini menggantung. Sebagai organisasi besar yang memiliki relasi luas, ada banyak kepentingan yang bermain di dalamnya.
“Kalau PWI sampai membawa ini ke pengadilan, maka ada risiko intervensi dari pihak luar yang bisa memperumit situasi. Bisa jadi ada pihak-pihak yang ingin mengendalikan PWI dari luar,” ujar seorang sumber internal PWI yang enggan disebutkan namanya.
Takut Efek Domino?
Jika kasus ini dibawa ke pengadilan, dampaknya bisa lebih besar dari yang diperkirakan. Beberapa kemungkinan yang bisa terjadi antara lain:
Pergolakan di internal organisasi, terutama di tingkat daerah yang mungkin memiliki kepentingan berbeda.
Pemecatan atau pembekuan anggota yang dianggap mendukung salah satu kubu, yang dapat memperburuk perpecahan di tubuh organisasi.
Penurunan kepercayaan publik terhadap PWI, karena organisasi wartawan yang seharusnya menjadi contoh keterbukaan justru gagal menyelesaikan konflik internalnya sendiri.
Beberapa pihak menduga PWI lebih memilih menunggu campur tangan Dewan Pers atau pemerintah untuk menjadi penengah dalam konflik ini. Langkah ini dianggap lebih aman dibandingkan membawa konflik ke pengadilan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
“Kalau masuk ke pengadilan, bisa lama dan melelahkan. Mungkin PWI lebih memilih mediasi atau kongres luar biasa sebagai jalan tengah,” ujar [Nama Pakar Media], pengamat media dan jurnalisme.
Hingga saat ini, dualisme kepengurusan PWI masih menjadi tanda tanya besar. Dengan tidak adanya langkah hukum yang jelas, konflik ini justru semakin memperburuk citra organisasi. Jika dibiarkan berlarut-larut, PWI bisa kehilangan kepercayaan dari anggotanya sendiri dan masyarakat luas.
Apakah PWI akan tetap membiarkan konflik ini tanpa penyelesaian hukum? Ataukah akan ada langkah tegas dalam waktu dekat? Semua masih menjadi misteri. Yang jelas, menunda penyelesaian hanya akan memperpanjang krisis di tubuh organisasi wartawan tertua di Indonesia ini. (TIM/Red)