_Oleh: Wilson Lalengke_
Jakarta – Fulan memukuli mandor Saruji akibat si mandor ini menjual paket makanan kepada para kuli bangunan dengan harga selangit. Saruji tidak terima.
Mendengar selentingan mandor Saruji dipelasah oleh Fulan, Rokiyah menanyakan kebenaran berita itu ke mandor Saruji. Bukannya memberi jawaban, si mandor malah mengajak Rokiyah bertemu di kedai Mami Bohay.
Rupanya mandor Saruji sangat sakit hati dipukuli Fulan. Dia kemudian mengajak si Fulan bertemu empat mata, tapi Fulan menolak. Alasannya saat itu sedang turun hujan.
Ketika bertemu Rokiyah di kedai Mami Bohay, mandor Saruji meminta Rokiyah membalaskan sakit hatinya, memukul balik si Fulan. Di pertemuan itu, hadir juga Bang Conan, salah satu kuli bangunan yang dipalak mandor Saruji yang jualan paket makanan harga selangit itu.
Untuk melakukan serangan balik terhadap si Fulan, mandor Saruji membuat kesepakatan dengan Rokiyah dan Bang Conan. Masih di kedai Mami Bohay, strategi penyerangan disusun bersama.
Eksekusi siap dilaksanakan. Mandor Saruji meminjam tangan kedua sahabatnya itu untuk memukuli balik si Fulan. Saruji pun menyiapkan dana operasional, 5 paket sembako. Deal..!!
Namun, malang nian nasib Rokiyah dan Bang Conan. Usai melaksanakan tugas memukuli Fulan, keduanya dilaporkan mandor Saruji ke polisi dengan tuduhan mencuri 5 paket sembako milik sang mandor. Edan..!!
Itulah ilustrasi singkat tentang nasib wartawan Mely dan Indra yang saat ini diproses oleh Kapolres Indragiri Hilir (Inhil), AKBP Budi Setiawan. Betapa mirisnya negeri ini memiliki polisi setingkat AKBP yang bungul – meminjam istilah orang Banjar, dalam mencermati sebuah peristiwa. Otaknya beku bin tumpul, dan sangat mungkin bercampur racun dendam dan irihati.
Dalam kasus ini, Saruji – si Kepsek SMPN 1 Tembilahan Hulu, yang menjadi bahan pemberitaan oleh Muslimin (si Fulan dalam cerita di atas – red) seharusnya berterima kasih kepada Mely dan Indra yang sudah bersedia melaksanakan permintaanya membuat berita koreksi dan pelurusan informasi terkait dugaan pungutan liar dengan modus jualan seragam sekolah yang dilakukan Saruji. Aneh bin go-block, malah keduanya dipenjarakan oleh sang dedengkot pungli Indragiri Hilir itu.
Celakanya, si tolol Kapolres Inhil seiya-sekata dengan si dedengkot pungli Saruji yang sedang diproses oleh Tim Saber Pungli itu. Polres Inhil menetapkan kedua wartawan sebagai tersangka dengan pasal penipuan dan atau pemerasan. Pertanyaannya, dimana unsur penipuannya? Apa alasan pembenar bahwa keduanya melakukan pemerasan?
Ternyata, Kapolres Budi Setiawan mendasarkan keputusannya pada keterangan tolol tingkat dewa dari seorang ahli pers abal-abal yang konon bernama Hendrayana dari lembaga Dewan (pecundang) Pers. Menurut si ahli otak kosong itu, berita koreksi dan pelurusan informasi yang dibuat dan ditayangkan oleh Mely dan Indra bukanlah berita advertorial sehingga tidak layak diberikan bayaran.
Jika saja Kapolres Budi Setiawan memiliki kecerdasan berpikir sebesar satu biji sawi sekalipun, dia dengan mudah memahami bahwa yang terjadi dalam kasus ini adalah murni transaksi yang didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak. Tidak penting jenis kelamin berita yang ditayangkan, apakah itu berita hard news, soft news, iklan, advertorial, hiburan, atau apapun jenisnya, namun yang pasti ada deal-deal pelaksanaan pekerjaan yang diberikan oleh Saruji kepada kedua wartawan ini. Dan untuk pekerjaan tersebut, Saruji perlu memberikan biaya operasional kepada mereka berdua. Emang untuk menayangkan berita tidak perlu kuota internet? Emang website dibangun dan di-maintain dengan air ludah? Emang membuat tulisan, terutama yang bersifat counter-berita tidak memerlukan proses berpikir yang menguras tenaga, waktu, dan materi?
Sekali lagi, andaikan saja Kapolres Budi Setiawan mempunyai volume otak seukuran otak anak ayam yang baru menetas saja, dia pasti akan ingat bahwa instansinya berkali-kali membagikan amplop kepada wartawan seusai melakukan press-release atas sebuah kasus, termasuk dalam hal memberikan klarifikasi dan koreksi atas informasi yang beredar sebelumnya. Apakah si AKBP ini merasa diperas dan atau ditipu oleh para wartawan?
Kapolri semestinya lebih jeli menilai dan memilih aparatnya untuk menjadi pimpinan satuan-satuan kerja di internalnya. Kapolri dan jajarannya harus memahami bahwa hukum bukan untuk dipermainkan, bukan untuk digunakan sewenang-wenang, bukan untuk menyenangkan diri kapolres, bukan untuk menguntungkan para pemesan hukum, atau bukan untuk memenuhi selera penguasa dan pengusaha. Hukum semata-mata hanya untuk kepentingan rakyat.
Dalam kasus penetapan tersangka terhadap Mely dan Indra, Kapolres Inhil AKBP Budi Setiawan, S.I.K. terindikasi kuat membela si pelapor Saruji, sang pelaku pungutan liar di SMP Negeri 1 Tembilahan Hulu dengan modus memaksa orang tua siswa membeli pakaian seragam dengan harga Rp. 850.000,- Salah satu orang tua siswa korban pungli Saruji itu adalah Indra, sang wartawan yang dilaporkan oleh Saruji.
Berita terkait di sini: Pelaku Pungli di SMPN 1 Tembilahan Semestinya Dituntut Pasal 368 dan UU Tipikor (https://pewarta-indonesia.com/2024/10/pelaku-pungli-di-smpn-1-tembilahan-semestinya-dituntut-pasal-368-dan-uu-tipikor/)
Apakah sang Kapolres mendapatkan bagian dari uang pungli tersebut? Sangat mungkin, karena dia terkesan perlu dana setoran atas jabatan yang disandangnya saat ini, plus buat tabungan untuk mendapatkan jabatan dan pangkat lebih tinggi lagi. Wallahualam bissawab. (*)
_Penulis adalah Guru PMP-KN SMP Negeri Sapat, Indragiri Hilir, periode 1990-1993_