Pertambangan dan energi merupakan unsur pembangunan berkelanjutan yang penting bagi
negara yang mengandalkan sumber daya alam sebagai salah satu sektor unggulan. Indonesia
merupakan salah satu negara yang menempatkan sumber daya alam sebagai unsur penting
dalam pembangunan berkelanjutan. Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan
menjelaskan bahwa pertambangan dan energi merupakan unsur sumber daya alam yang
penting bagi negara. Sumber yang sama menyebutkan bahwa di tahun 2006, industri
pertambangan telah menyumbangkan sekitar 11,20% dari nilai ekspor Indonesia dan
memberikan kontribusi sekitar 2,80% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB), dan
mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia.
Namun demikian, dari sisi lingkungan hidup kegiatan pertambangan dianggap paling merusak
lingkungan dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan eksplorasi sumber daya alam lainnya.
Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan lebih lanjut menjelaskan bahwa
pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan menghilangkan vegetasi,
menghasilkan limbah tailing (cair) dan batuan limbah, serta menguras air tanah dan air
permukaan.
Di samping itu, bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah
gersang yang bersifat asam. Salah satu dilema pertambangan di Indonesia adalah eksplorasi tambang (emas dan tembaga) yang dilakukan oleh Freeport-Rio Tinto (selanjutnya disebut
Freeport) di Papua.
Informasi kandungan tambang tembaga dan emas di Papua bermula ketika pada tahun 1907,
pemerintah kolonial Belanda mengadakan ekspedisi ke daerah bersalju tersebut, yang dipimpin
oleh Dr. HA. Lorentz; kemudian pada tahun 1919 daerah itu dinyatakan sebagai daerah yang
dilindungi (Leith dalam Chalid Muhammad, 2006).
Kebijakan ekonomi pro-kapitalis yang dianut oleh Presiden Soeharto telah membuka
kesempatan bagi perusahaan tambang Amerika Serikat untuk beroperasi di wilayah hukum
Indonesia. Dengan keyakinan yang besar terhadap kebenaran laporan ekspedisi Belanda yang
dipimpin Jeans Jacques Dozy pada tahun 1936, mengenai tambang emas dan tembaga di Irian
Barat (selanjutnya disebut Papua), maka pada tahun 1960 seorang manajer eksplorasi Freeport
Mineral Company, Forbes Wilson bersama Del Fluit melakukan ekspedisi ke Papua.
Bersamaan dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno kepada Soeharto yang pro-kapitalis,
hasil ekspedisi Freeport Mineral Company yang diyakini akan menjadi investasi yang sangat
menguntungkan perusahaan ini ditindaklanjuti, Freeport mulai bernegosiasi dengan
pemerintahan baru untuk mengeksploraasi Ertsberg.
Pada tahun 1967, negosiasi ini menghasilkan penandatanganan Kontrak Karya penambangan
antara PT Freepot Indonesia (PTFI) dengan pemerintah Indonesia, dengan komposisi
kepemilikan saham Freeport Mc Mo Ran 81,28%, PT Indocopper Investama 9,36% dan
pemerintah Indonesia juga 9,36%. Daerah eksplorasi yang dicakup oleh kontrak karya PTFI
sekarang berdampingan dengan Taman Nasional Lorentz (kawasan yang dilindungi), yang
terbentang dari pegunungan Jayawijaya yang tertutup salju kearah selatan melalui lembah
sungai Ajkwa dan Otomona serta kipas alluvial (alluvial fans) menuju laut Arafuru yang
terbentang sekitar 65 km dari dasar pegunungan, dengan dataran rendah yang sangat datar dan
muara sungai Ajkwa mencapai 20 km ke arah daratan (Parametrix dalam Chalid Muhammad,
2006).
Tambang Freeport dimulai dari tambang terbuka Ertsberg, yang dibuka Presiden Soeharto pada
bulan Maret 1973, dan telah habis ditambang pada akhir tahun 1980-an, dengan meninggalkan
lubang sedalam 360 meter. Tahun 1988, Freeport mengumumkan adanya sumber tambang pada
Grasberg, yang berada 2,2 km dari lubang tambang Erstberg dan 500 m lebih tinggi.
Sumber tambang Grasberg adalah daerah kaya tembaga dan emas yang dikelilingi batuan kapur.
Daerah dengan kandungan tambang bernilai tertinggi, lebarnya 2 km pada ketinggian 4.100 m
dan menyempit menjadi 900 m pada ketinggian 3000 m. Oleh karena itu teknik penambangan
di Grasberg dilakukan dengan teknik penambangan bawah tanah. Pada bulan Juni 2005, Chalid
Muhammad (2006) melaporkan adanya lubang tambang Grasberg yang telah mencapai
diameter 2,4 km pada daerah seluas 449 hektar.
Kontrak karya untuk penambangan Grasberg ditandatangani pada tahun 1991 untuk jangka
waktu eksplorasi 30 tahun. Pada tahun 2014 penambangan terbuka Grasberg akan dihentikan,
tetapi penambangan bawah tanah akan dilanjutkan hingga berakhirnya masa Kontrak Karya.Kebijakan alokasi dana keamanan yang salah ini, merupakan kesalahan struktural dalam etika
bisnis dalam bentuk suap, yang sudah dimulai pada awal keberadaan Freeport di Indonesia,
sebagai imbal jasa bagi Soeharto dan kroni- kroninya yang meloloskan Freeport untuk
beroperasi di Indonesia.
Pendekatan etika bisnis, yang bersumber pada etika moral dalam berbisnis telah menempatkan
suap sebagai pelanggaran etika bisnis, ketidak pedulian perusahaan terhadap dampak
lingkungan akibat operasi perusahaan menjadi indikasi adanya pelanggaran pada prinsipprinsip corporate social responsibility (CSR), dan mengabaikan kepentingan buruh dan
stakeholders lainnya, serta mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan melakukan
kegiatan tanpa audit yang transparan dan sesuai prinsip-prinsip audit di Indonesia. Hal tersebut
jelas merupakan pelanggaran pada penerapan tata kelola usaha yang baik (good corporate
governance atau GCG). Nampaknya dari ketiga pendekatan inilah pada akhirnya yang melatar
belakangi keberadaan Freeport sehingga menjadi dilema bagi terlaksananya pembangunan
berkelanjutan.
Beberapa kejadian yang terkait dengan pelanggaran Freeport terhadap etika bisnis, CSR dan
GCG serta dilema bagi pembangunan berkelanjutan, yaitu :
1. Melakukan suap terhadap Soeharto dan kroni-kroninya Dalam hal ini perusahaan
memberikan dana keamanan kepada individu-individu petinggi TNI dan POLRI di
Papua serta melakukan penyadapan e-mail dan telepon para aktivis lingkungan dan
HAM (http://id.wikipedia.org/wiki/freeport)
2. Melecehkan hukum yang berlaku di Indonesia
o Menteri KLH Rachmat Witoelar menyatakan bahwa kerusakan lingkunga yang
disebabkan oleh Freeport saat ini telah parah. Sekarang tim kita (KLH) dapat
melakukan penelitian, setelah sejak dulu Freeport menolak untuk diteliti, saat
ini tim masih bekerja. Dugaan KLH bahwa Freeport telah menyebabkan
perusakan dan pencemaran lingkungan di sepanjang sungai Ajkwa dari hulu
sungai hingga mencapai pesisir laut, dan limbah yang ditumpahkan Freeport
berupa pembuangan tailing limbah bahan beracun berbahaya (B3) telah
mencapai pesisir laut Arafura (Media Indonesia on line, 25 April 2007).
o b. Freeport telah melecehkan hukum di Indonesia dengan berbagai pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh oknum-oknum TNI/POLRI, sekurang-kurangnya
kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport
(http://id.wikipedia.org/wiki/freeportindonesia).
3. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Pembuangan Limbah Dalam hal ini, Badan
Pengawasan Dampak Lingkungan (BAPEDAL) telah memperingatkan Freepot bahwa
pembuangan tailing ke sungai adalah pelanggaran langsung terhadap peraturan
pembuangan limbah cair maupun padat kedalam atau ke sekitar sungai (Pasal 42
PP82/2001)4. Dampak ekonomi Freeport terbukti tidak memberikan kesejahteraan yang memadai
dibandingkan keuntungan perusahaan, baik bagi masyarakat Papua maupun para
pekerja Freeport khususnya yang berasal dari pribumi (Kompas, 20 April 2007).