Salam damai dan salam sejahtera.
Ijinkan kami untuk menyampaikan pesan dan saran kepada aparat kepolisian dan TNI yang bertugas di Tanah Papua.
Kami sangat tidak setuju dan menentang dengan keras tindakan penegakkan hukum terhadap institusi Gereja, tokoh – tokoh Gereja dan para pekerja Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua di Distrik Keneyam, Kabupaten Nduga, pada Minggu malam, tanggal 17 September 2023 yang lalu.
Kami ditelpon oleh para pendeta yang dianiaya dan dilukai tubuh mereka selama proses penindakan dan pemeriksaan mereka di kantor polisi Polres Nduga. Kami juga dikirimi sejumlah foto-foto tubuh mereka yang terluka. Sangat sedih dan emosional melihat kejadian ini.
Karena itu kami merasa perlu untuk menyampaikan surat terbuka ini. Kami sangat peduli dengan keadilan dan perdamaian di Nduga dan tanah Papua. Kami mau hidup damai dan harmonis di atas Tanah Papua. Kami tidak mau memperpanjang dendam, kebencian, permusuhan dan saling bunuh di atas Bumi Cenderawasih.
Ijinkan kami untuk memberikan informasi dan saran kepada Bapak Kapolri, Bapak Panglima TNI, Bapak Kapolda, dan Bapak Pangdam.
Informasi pertama:
Dalam sejarah konflik dan kekerasan politik di Papua, aksi-aksi perlawanan bersenjata paling kuat dan militan baru muncul di wilayah Papua Pegunungan saat Papua memasuki era otonomi khusus tahun 2001 ke atas.
Perlawanan bersenjata yang kuat dan militan dari OPM di wilayah pegunungan Papua, dimulai sejak tahun 2004. Tahun dimana Pendeta Elisa Tabuni ditangkap, diinterogasi, disiksa secara brutal dan ditembak mati di Tingginambut, Puncak Jaya, tanggal 16 Agustus 2004.
Goliat Tabuni, Lekagak Telenggeng, dan anggota Jemaat yang lain sangat marah dan mulai mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap negara sejak peristiwa pembunuhan pendeta Tabuni. Wilayah kabupaten Puncak Jaya dan kabupaten Puncak sejak saat itu, menjadi basis perlawanan bersenjata OPM pimpinan Goliat Tabuni.
Kejadian yang sama juga terjadi di wilayah Kabupaten Nduga, Papua. Tokoh-tokoh gereja seperti Silas Kogoya dan Daniel Yudas Kogoya (ayah kandung dari Egianus Kogoya), terpaksa harus angkat senjata melawan negara pada tahun 1990-an karena tidak tahan disiksa dan melihat banyak anggota jemaat gereja ditangkap, disiksa dan dibunuh.
Mereka berdua kemudian bergabung dengan tokoh OPM dari Mimika, Kelly Kwalik, untuk melakukan penyanderaan Tim Ekspedisi Lorentz tahun 1996, demi untuk membangun citra dan sekaligus menarik simpati dan dukungan internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Papua.
Pesan refleksi penting dari informasi pertama ini adalah kalau para pendeta dan tokoh-tokoh gereja ditangkap, disiksa dan diperlakukan tidak adil di luar batas perikemanusian, lalu dibunuh, maka akan semakin tumbuh banyak kelompok-kelompok perlawanan bersejata di Papua. Situasi kamtibmas Papua akan semakin memburuk. Semangat orang Papua untuk merdeka dengan perlawanan bersenjata akan semakin membara.
Informasi kedua:
Gereja Kingmi Papua adalah gereja dengan umat terbesar di wilayah Ndugama, Papua. Egianus Kogoya dan kelompoknya adalah bagian dari anggota Jemaat gereja Kingmi Papua.
Bukan berarti gereja Kingmi Papua wilayah Ndugama terlibat dalam mendukung segala aksi kekerasan bersenjata KKB Egianus Kogoya.
Jika pemerintah dan aparat keamanan berniat tulus mau bebaskan sandera Philip Mark Merthenz, pilot Susi Air dari Selandia Baru, maka gereja Kingmi Papua wilayah Ndugama, bisa memainkan peran fasilitator dan mediator dengan baik.
Namun dengan kejadian ini, akibat kekeliruan persepsi terhadap gereja Kingmi Papua di Nduga, sebagai penyuplai bahan makanan dan logistik kepada Egianus Kogoya, maka nasib pilot Philip M. Merthenz sedang dalam bahaya. Dan proses negosiasi yang kami coba bangun dengan kelompok Egianus Kogoya selama ini pun ikut terganggu.
Pesan refleksi dari informasi kedua adalah gereja Kingmi Papua di Nduga itu, alat kontak yang efektif yang bisa digunakan pemerintah dan aparat keamanan untuk berkomunikasi dari hati ke hati dengan kelompok Egianus Kogoya. Jangan merusak alat atau intrumen efektif komunikasi publik ini dengan tindakan penegakan hukum yang berlebihan.
Selanjutnya saran yang bisa kami sampaikan adalah:
Pertama, Bapak Kapolda Papua dan Bapak Pangdam Cenderawasih harus segera meminta maaf secara langsung kepada pendeta dan tokoh-tokoh gereja Kingmi Papua klasis wilayah Nduga, Papua. Permintaan maaf adalah “air” yang akan memadamkan kobaran api kemarahan dan perlawanan bersenjata yang lebih besar dan lebih militan.
Kedua, aparat keamanan TNI dan Polri, harus bisa segera bertanggungjawab mengobati luka-luka di tubuh para pendeta dan tokoh gereja Kingmi Keneyam, Nduga. Bertanggungjawab juga mengganti semua biaya kerusakan bangunan gereja dan rumah sekertariat gereja.
Ketiga, lakukan penebalan pasukan keamanan di wilayah perbatasan RI dan PNG. Karena kata-kata rasis dan penghinaan yang diucapkan aparat keamanan terhadap para anggota DPRD Nduga pada tanggal 17 September 2023 yang lalu, membuat elit politik dan oknum-oknum pejabat di Nduga semakin bersemangat untuk menyiapkan uang bagi pengadaan senjata dan amunisi.
Sebelum peristiwa 17 September ini saja, sudah ada uang milyaran rupiah yang mengalir ke tokoh-tokoh OPM di PNG untuk membeli senjata dan amunisi di Bougainville. Karena itu, perbatasan darat dan laut RI dan PNG, harus terus diperketat perlintasan barang dan manusia.
Keempat, kalau mau merebut hati dan pikiran orang Papua, jangan sakiti dan lukai para pendeta dan perempuan Papua. Apalagi para pendeta dan hamba-hamba Tuhan yang melayani dengan setia di wilayah-wilayah pedalaman dan terisolir, seperti di kabupaten Nduga, Papua. Mereka kadang digaji, kadang tidak digaji dan dilupakan oleh sinodenya di ibu kota Provinsi. Tetapi mereka tetap setia melayani dengan keterbatasan ekonomi keluarganya.
Lalu aparat keamanan datang menuduh mereka tanpa alat bukti yang cukup, menangkap, menyiksa dan membunuh mereka. Itu perbuatan sangat melukai hati kami semua orang Papua. Itu pasti akan memantik kemarahan dan kebencian yang membunca, yang akan berakhir dengan aksi-aksi perlawanan bersenjata yang semakin radikal dan militan.
Kelima, Kapolres Nduga, aparat kepolisian dan TNI organik dan non organik yang bertugas di Nduga, perlu dievaluasi dan operasi-operasi intelejen perlu diperbaiki dan ditinjau kembali. Berikan informasi dan data intelejen yang benar dan akurat, serta terverifikasi. Karena masih ditemukan data intelejen yang “setengah benar” sehingga fatal dalam operasi penegakkan hukum di Nduga dan wilayah Papua Pegunungan.(Red.JL)
Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Terimakasih.
Hormat kami,
Marinus Mesak Yaung
Dosen Universitas Cenderawasih