Tanjung Balai (ANTARA) –
Efri Zuandi dan istrinya Yuli Andriyani warga Kecamatan Sei Tualang Raso Kota Tanjung Balai orang tua pasien anak menduga dan menganggap diagnosis medis terhadap anaknya salah, serta menjadi korban malpraktik dokter dan pihak rumah sakit. Untuk menuntut keadilan, pasangan suami istri itu menyatakan menempuh jalur hukum.
Hal itu diungkapkan Efri dan istrinya, didampingi penasihat hukum Rina Astati Lubis dan Frans Handoko Hutagaol dalam konferensi pers di Kantor Hukum Rial Law Firm & Partners, di Jalan Husni Thamrin Kota Tanjung Balai, Jum’at.
Kepada wartawan, Efri Zuandi menjelaskan kronologi putrinya didiagnosa difteri berawal pada Selasa, 14 Januari 2025. Dimana anak perempuannya usia 4 tahun mengalami flu, batuk disertai demam tinggi, sehingga dilarikan ke RSUD Tengku Mansyur Kota Tanjung Balai untuk mendapatkan perawatan kesehatan.
Setelah mendapat pertolongan pertama di UGD, beberapa jam kemudian putrinya dipindahkan ke ruang rawat inap. Kemudian diperiksa oleh dr Johan (spesialis anak) pada bagian mulut meliputi lidah dan tenggorokan. Kemudian, dokter Johan mendiagnosis bahwa anaknya terkena penyakit difteri, dan harus di rujuk ke rumah sakit di Medan dengan alasan RSUD Tanjung Balai tidak memiliki ruang ICU (Intensive Care Unit) untuk mengisolasi pasien difteri.
Efri melanjutkan, hari itu juga dengan mobil ambulan RSUD Tanjung Balai mereka berangkat ke Medan, namun setibanya di RS-USU Medan (rumah sakit rujukan) sekira pukul 16.30 WIB, putrinya tidak langsung mendapat menangan medis, tetapi selama 1 jam 30bmenit dibiarkan tatap berada di mobil ambulan dengan alasan Ruang ICU isolasi pasien difteri RS-USU tidak ada yang kosong.
Pukul 19.00 putrinya baru dimasukkan keruangan rawat inap dan mendapat penanganan dokter. Oleh dokter putrinya disarankan untuk segera me jalani operasi pada bagian leher karena mengalami sesak nafas dan kesulitan bernapas. Namun belum sempat mendapat tindakan medis (operasi) pada pukul 20.00 WIB putri keduanya itu meninggal dunia.
“Hanya berdasarkan diagnosa fisik tanpa melalui uji laboratorium, oleh dokter Johan putri kami divonis menderita difteri. Di RS UU kami juga tidak mendapat layanan maksimal,” kata Efri Zuandi dalam keterangan pers.
Diagnosis medis tanpa uji laboratorium tersebut, kata Efri, tidak berhenti pada anaknya yang sudah meninggal dunia. Dua orang putrinya usia 7 tahun dan 1,5 tahun merupakan anak pertama dan ketiga yang diperiksa dokter Johan pada tanggal 16 Januari 2025 juga didiagnosa terinfeksi difteri dan harus segera dirujuk ke Medan.
Trauma terhadap putri keduanya yang tidak mendapat tindakan medis hingga meninggal dunia, Efri Zuandi dan istrinya Yuli Andriyani menolak keras kedua putrinya tersebut dirujuk ke Medan. Mereka memilih akan membawa keduanya berobat ke rumah Rumah Sakit Lam Wah Ee di Pulau Penang, Malaysia.
Ironis, kata Efri niat mereka membawa kedua putrinya berobat ke Penang, Malaysia sempat dihalang-halangi pihak Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai dengan dalih mereka akan ditendang balik karena anak-anaknya terinfeksi difteri.
Dengan kekuatan tekad agar anak-anaknya sembuh, pada 17 Januari 2025 sekitar pukul 09.00 waktu Malaysia, Efri beserta istri, kedua putri dan keluarga lainnya tiba di Rumah Sakit Lam Wah Ee. Kedua buah hatinya langsung mendapat tindakan medis dari dokter Lim Ai Tyng asal Taiwan, dengan melakukan PCR cairan dari tenggorokan, dan uji laboratorium darah.
Masih menurut Efri, dokter Lim Ai Tyng menyatakan kedua putrinya perlu menjalani rawat inap tanpa harus diisolasi. Hari itu juga pukul 11.00 waktu setempat, keluar hasil uji laboratorium yang menyatakan bahwa kedua putrinya terkena penyakit Tonsillitis (radang amandel), bukan terinfeksi difteri seperti diagnosis medis dokter Johan Sp.A.
Setelah tiga hari menjalani perawatan, dokter Lim Ai Tyng menyatakan kedua putrinya sudah sembuh dan boleh pulang. Namun, pada 21 Januari 2025, sekira pukul 18.00 WIB setibanya di Bandara Kuala Namu, mereka sempat dihadang Tim Medis berseragam APD (Alat Pelindung Diri) dari pihak Kementerian Kesehatan RI dengan alasan anaknya terinfeksi difteri, dan wajib dikarantina.
Setelah berdebat dan memperlihatkan hasil PCR dan uji laboratorium RS Lam Wah Ee serta Surat Keterangan dari dokter Lim Ai Tyng bahwa kedua putrinya terkena Tonsillitis (radang amandel), petugas tersebut melepas seragam APD dan memeluk mereka serta kedua putrinya, dan mereka diijinkan pulang ke Tanjung Balai.
Tidak sampai di situ, pada 22 Januari 2025 rumah mereka didatangi pihak Kemenkes RI, Dinas Kesehatan provinsi Sumatera Utara dan Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai, yang dengan kekeh menyatakan bahwa putri-putri mereka terinfeksi difteri dan wajib diisolasi. Namun mereka tetap bertahan dengan hasil diagnosis medis RS Lam Wah Ee, Penang.
“Akibat diagnosis medis yang salah, kami merasa dirugikan secara moral maupun materil, dan anak-anak kami korban malpraktek. Kami melakukan upaya hukum dengan harapan mendapat keadilan dan nama baik kami yang sempat diviralkan pihak tertentu dapat dipulihkan,” kata Efri Zuandi di hadapan penasihat hukumnya.
Penasihat hukum Rina Astati Lubis bersama rekannya Frans Handoko Hutagaol menyatakan, atas kuasa Efri Zuandi dan Yuli Andriyani, pihaknya telah melakukan beberapa upaya hukum dengan cara menyurati pihak-pihak terkait, termasuk Kementerian Kesehatan RI.
“Ini kasus serius, kami sudah mengirimkan surat kepada pihak-pihak terkait. Hak klien kami yang menuntut keadilan sepenuhnya akan diperjuangkan,” kata Rina Astati Lubis.
Menurut Frans Handoko Hutagaol, mengeluarkan diagnosis medis terhadap difteri tanpa melalui
Swab, tes PCR hingga uji laboratorium merupakan kesalahan. Bertentangan dengan panduan penanganan penyakit difteri.
Begitu juga dugaan malpraktek yang dilakukan dokter atau perawat yang dapat merugikan pasien, apalagi sampai menyebabkan kematian merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam KUH Pidana.
“Berdasarkan pengakuan klien kami dan bukti-bukti berupa hasil uji laboratorium serta keterangan dokter RS Lam Wah Ee, klien kami telah dirugikan atas kesalahan diagnosis medis dan diduga jadi korban malpraktik. Pihak yang terkait dalam kasus ini, patut dituntut agar mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Frans Handoko Hutagaol.
Dokter Johan S.Pa melalui media sosial akun facebookya (Johan El-Hakim Siregar) menyatakan, suspek (curiga) difteri bila dijumpai gejala radang tenggorokan dan demam ataupun tanpa demam, dan ada pseudomembran (selaput) putih/abu, yg mudah berdarah bila dimanipulasi, dan dinyatakan oleh ahli (komite ahli).
Penegakan diagnosis difteri tidak bergantung pada hasil laboratorium. Semua kasus yg memenuhi gejala klinis diperlakukan sebagai difteri. Dokter memutuskan diagnosis difteri berdasarkan tanda dan gejala.
Cegah difteri dan penyakit mematikan lain dengan imunisasi. Sumber : Juknis Surveilans Difteri Kemenkes RI 2023.(*)