**
Makassar – Di balik megahnya ruang sidang, di bawah lambang keadilan yang seharusnya tidak berpihak, seorang advokat berdiri dengan baju toga hitam yang melambangkan kehormatan. Namun, ketika toga itu hanya menjadi kedok untuk bisnis kotor, hukum tak lagi menjadi alat keadilan, melainkan komoditas yang diperjualbelikan kepada mereka yang mampu membayar.
Advokat seharusnya adalah pembela hak-hak klien, penjaga keadilan, dan pengawal supremasi hukum. Namun, tidak sedikit yang menjadikan profesi ini sebagai ladang bisnis tanpa nurani.
1. Mahalnya Keadilan untuk yang Tak Berdaya.
Keadilan di atas kertas mengatakan bahwa semua orang berhak mendapatkan pembelaan yang adil. Namun, di dunia nyata, hukum sering kali tunduk pada kekuatan uang. Mereka yang memiliki kekayaan bisa membayar advokat untuk memenangkan perkara dengan cara apa pun, sementara mereka yang tak berdaya harus pasrah menghadapi sistem yang tak berpihak.
2. Siasat Licik di Balik Meja Sidang.
Ada advokat yang lebih sibuk melobi hakim dan jaksa daripada menyusun pembelaan hukum yang sah. Mereka menawarkan “jalan pintas” kepada kliennya: bayar lebih, dan hasil sidang bisa diatur. Dengan permainan kotor ini, keputusan hukum bukan lagi soal benar atau salah, melainkan soal siapa yang berani membayar lebih mahal.
3. Mengeksploitasi Klien demi Keuntungan Pribadi.
Bukan hanya lawan yang menjadi korban, bahkan klien sendiri bisa menjadi target eksploitasi. Ada advokat yang memperpanjang proses hukum bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk terus mengeruk uang dari kliennya. Janji-janji kosong diberikan, strategi yang seharusnya efisien diputar-putar agar tagihan terus bertambah.
4. Jual-Beli Kasus dan Putusan.
Praktik memperjualbelikan hukum tidak berhenti di ruang sidang. Ada advokat yang menjadi makelar perkara, mengatur hasil sidang di luar pengadilan dengan jaringan hakim, jaksa, dan aparat lain. Putusan yang seharusnya murni berdasarkan fakta hukum malah bisa dinegosiasikan layaknya transaksi bisnis.
*Dampak Buruk: Hancurnya Kepercayaan terhadap Hukum*
Ketika advokat menjadikan hukum sebagai barang dagangan, dampaknya sangat luas:
Hukum menjadi alat bagi mereka yang kaya dan berkuasa, sementara yang miskin hanya bisa berharap keajaiban.
Integritas sistem peradilan runtuh, karena keputusan bukan lagi ditentukan oleh kebenaran, tetapi oleh uang.
Masyarakat kehilangan kepercayaan pada profesi advokat, karena lebih banyak yang melihat mereka sebagai pedagang hukum daripada pejuang keadilan.
Baju toga seharusnya bukan sekadar seragam, tetapi simbol integritas, kejujuran, dan tanggung jawab. Untuk mengembalikan kehormatan profesi advokat, beberapa langkah harus diambil:
Penegakan kode etik yang tegas terhadap advokat yang menjadikan hukum sebagai bisnis kotor.
Transparansi dalam dunia hukum, agar masyarakat bisa mengawasi dan melaporkan praktik jual-beli keadilan.
Kesadaran di kalangan advokat sendiri, bahwa profesi ini bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga menjaga martabat keadilan.
Ketika baju toga hanya menjadi kedok untuk memperjualbelikan hukum, maka hukum kehilangan maknanya sebagai pilar keadilan. Profesi advokat, yang seharusnya mulia, berubah menjadi arena bisnis gelap yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Jika hukum terus dijual kepada mereka yang mampu membayar, maka pada akhirnya, keadilan hanya akan menjadi mitos bagi mereka yang tak mampu membeli. **