”Delik Perkosaan dan Kekerasan Seksual dalam KUHP: Apakah Sudah Memadai?”

oleh -33 Dilihat

Oleh: Lidia

Kekerasan seksual masih menjadi masalah besar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam kasus kekerasan seksual, korban tidak hanya mengalami kerusakan fisik, tetapi juga mengalami kerusakan psikologis dan sosial. Ketentuan hukum yang lebih tegas dan efektif diperlukan karena kesadaran yang terus meningkat untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi para korban. Kekerasan seksual di Indonesia diatur oleh beberapa undang-undang, terutama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang telah memuat delik perkosaan dan kekerasan seksual sejak dibuat. Kekerasan seksual adalah masalah yang sangat serius yang mengancam keselamatan, kesejahteraan, dan kehormatan seseorang, terutama perempuan dan anak-anak.

Namun, terdapat beberapa pihak yang berpendapat bahwa ketentuan KUHP saat ini belum mencukupi untuk menangani kasus kekerasan seksual yang kompleks di zaman sekarang. Beberapa kelemahan KUHP termasuk definisi delik perkosaan yang terbatas, perlindungan korban yang kurang, dan ketidakmampuan untuk mengakomodasi kekerasan seksual lainnya. Dengan demikian, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dibuat pada tahun 2022 dengan tujuan untuk mengisi celah tersebut.

Apakah ketentuan KUHP mengenai delik perkosaan dan kekerasan seksual sudah memadai untuk melindungi korban dan memberikan hukuman yang adil bagi pelaku? Jika tidak, apakah perlu dilakukan revisi tambahan? Dalam hal ini, maka kita perlu membahas terkait masalah ini dengan melihat kelemahan KUHP, perbandingannya dengan UU TPKS, dan mempertimbangkan saran reformasi hukum yang lebih komprehensif.
Saat ini, KUHP Indonesia mengatur kekerasan seksual, khususnya perkosaan, dalam Pasal 285 hingga Pasal 290. Menurut KUHP, persetubuhan yang dilakukan dengan paksa terhadap seorang perempuan di luar pernikahan disebut perkosaan, metode ini mengabaikan fakta bahwa laki-laki dan gender lain juga dapat menjadi korban kekerasan seksual. Beberapa aspek penting yang sering dipertanyakan oleh masyarakat dan pakar hukum termasuk definisi perkosaan yang terlalu sempit, batasan untuk korban hanya perempuan, dan ketidakmampuan KUHP untuk memasukkan berbagai jenis kekerasan seksual lainnya, serta salah satu alasan lainnya mengapa KUHP dianggap belum sepenuhnya memahami kompleksitas kasus kekerasan seksual adalah karena fokusnya pada elemen “persetubuhan dengan paksa” dan “korban perempuan di luar pernikahan”.

Ada beberapa masalah dengan pengaturan delik perkosaan di KUHP; KUHP tidak mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan seksual selain perkosaan, seperti pelecehan seksual, ancaman seksual, ataupun eksploitasi seksual yang melibatkan kekerasan non-fisik, akibatnya karena KUHP tidak mengatur jenis kekerasan yang dialami korban, banyak korban yang tidak memiliki kemampuan untuk mencari keadilan secara hukum; selain itu, definisi perkosaan di KUHP hanya mencakup perempuan sebagai korban, sehingga laki-laki yang menjadi korban perkosaan atau kekerasan seksual sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang sama.

Banyak kasus perkosaan melibatkan hubungan kekuasaan atau manipulasi, namun KUHP hanya membahas aspek “pemaksaan fisik”, sehingga sulit bagi korban untuk menunjukkan kekerasan dalam konteks hubungan emosional kekuasaan atau pengaruh. Dalam kebanyakan kasus, KUHP berfokus pada penghukuman pelaku dan tidak mencakup perlindungan atau pemulihan korban. Korban sering kali menghadapi trauma dan stigma setelah proses hukum selesai, tanpa dukungan yang memadai dari negara atau masyarakat. KUHP tidak menganggap aspek pemulihan sosial dan psikologis korban sebagai komponen proses hukum yang harus diutamakan.

Dengan pengesahan UU TPKS pada tahun 2022, cakupan pelanggaran kekerasan seksual yang diakui di Indonesia diperluas. Dianggap sebagai langkah besar dalam melindungi korban, UU TPKS mencakup berbagai jenis kekerasan seksual, seperti pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, dan kekerasan berbasis gender. UU TPKS juga mendefinisikan jenis-jenis kekerasan seksual secara lebih komprehensif. Perluasan cakupan ini memberi korban lebih banyak waktu untuk mencari keadilan, terutama korban kekerasan seksual yang tidak termasuk dalam kategori perkosaan. Sebagai undang-undang baru, UU TPKS menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif dan responsif terhadap kebutuhan korban. Tujuannya adalah untuk mengisi kekosongan dalam KUHP terkait kekerasan seksual.

KUHP tidak memadai untuk menangani kasus kekerasan seksual yang lebih kompleks karena hanya mengatur perkosaan dan perbuatan cabul. Sementara KUHP lebih berfokus pada penghukuman terhadap pelaku, UU TPKS lebih menekankan hak-hak korban untuk mendapatkan keadilan, perlindungan, dan pemulihan, termasuk salah satunya yaitu undang-undang ini melarang perlakuan diskriminatif terhadap korban, termasuk pembalasan terhadap korban ataupun tindakan lain yang merugikan korban dalam proses hukum, serta UU TPKS ini juga menyediakan mekanisme pendampingan bagi korban, termasuk rehabilitasi medis dan psikologis. Sayangnya, tidak semua daerah di Indonesia memiliki infrastruktur dan tenaga ahli yang memadai untuk menyediakan layanan ini. Ini menjadi masalah besar, terutama di daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas kesehatan dan layanan psikologis yang memadai.

UU TPKS mengatur sanksi yang lebih rinci sesuai dengan jenis kekerasan yang terjadi. Hal ini memudahkan penegak hukum untuk menentukan jenis hukuman yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan, serta memberikan kejelasan kepada korban dan masyarakat tentang konsekuensi hukum dari setiap jenis kekerasan seksual. Perlu diingat juga diperlukan sinkronisasi antara KUHP dan UU TPKS agar penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Karena kedua undang-undang ini berbeda dalam hal definisi, cakupan, dan prosedurnya, perbedaan ini dapat membuat penegak hukum bingung dan mengurangi efektivitas pemberian keadilan kepada korban. Harmonisasi diperlukan untuk memastikan bahwa hukum berfungsi dengan baik dan adil.

Dengan adanya Victim-Blaming di dalam lingkungan Masyarakat tentu hal ini akan menjadi penghambat bagi korban untuk melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka alami, hingga korban sering enggan mencari keadilan karena stigma sosial mereka. Mereka juga takut bahwa mereka akan disalahkan atau dipandang negatif oleh masyarakat, yang memperparah hal ini.

Meskipun UU TPKS sudah mulai berlaku, KUHP dengan cakupannya yang lebih luas, masih memiliki peran penting dalam mengatur tindak pidana. Namun, untuk menghindari tumpang tindih atau ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum, ada kesulitan untuk menggabungkan kedua aturan ini.

Sangat penting bagi KUHP untuk diubah dalam hal mencakup definisi kekerasan seksual yang lebih luas. Melakukan harmonisasi dengan UU TPKS akan memungkinkan kedua undang-undang ini bekerja sama untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih luas bagi korban. Untuk menjadi lebih komprehensif dan mencakup berbagai jenis pemaksaan yang mungkin terjadi dalam konteks kekerasan seksual, definisi kekerasan seksual dalam KUHP harus diperluas.
Teruntuk memerangi budaya menyalahkan korban (Victim-Blaming), pemerintah dan lembaga masyarakat sipil harus mendorong sosialisasi guna mengubah cara pandang yang masih menempatkan beban tanggung jawab pada korban, Dimana masyarakat harus dididik secara menyeluruh baik menggunakan media massa, kampanye publik, ataupun program pendidikan. Sehingga korban diharapkan tidak merasa malu atau takut untuk melaporkan kasus kekerasan seksual karena peningkatan kesadaran publik.

Serta pemerintah harus memastikan juga bahwa layanan pemulihan termasuk dukungan medis, konseling psikologis, dan pendampingan hukum, tersedia bagi korban di seluruh Indonesia, termasuk di daerah terpencil. Untuk melakukan ini, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah. Tak luput dalam hal ini pemerintah dapat membentuk tim khusus untuk mengawasi pelaksanaan UU TPKS dan memastikan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual berjalan dengan baik. Pengawasan yang ketat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa UU TPKS dilaksanakan sesuai dengan tujuan sebenarnya.

Kekerasan seksual merupakan masalah yang tidak hanya mengenai pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan pelanggaran yang serius terhadap hak asasi manusia. Saat ini, KUHP masih memerlukan reformasi mendalam untuk menjadi lebih terbuka dan responsif terhadap berbagai jenis kekerasan seksual. Meskipun UU TPKS telah mengisi banyak kekosongan dalam KUHP, implementasi dan harmonisasi masih menjadi tantangan dan sangat penting untuk menghindari kebingungan hukum. Bukan hanya pelanggaran hukum, kekerasan seksual juga merugikan korban secara emosional, psikologis, dan sosial. Oleh karena itu, reformasi hukum, termasuk KUHP harus dilakukan untuk memperkuat perlindungan korban. Korban kekerasan seksual harus dapat memperoleh keadilan dan pemulihan yang mereka butuhkan baik melalui perubahan hukum, pelatihan aparat, dan penguatan budaya yang mendukung korban, yang tentunya melalui pendekatan yang lebih komprehensif dan ramah korban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.