**
Jakarta – Kasus dugaan penyalahgunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) kembali menjadi sorotan setelah penyelidikan intensif dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dana CSR, yang dikelola melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), seharusnya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat. Namun, laporan terbaru mengindikasikan bahwa dana tersebut justru mengalir ke sejumlah anggota Komisi XI DPR RI. (6/1/ 2025)
Pengakuan beberapa anggota DPR, termasuk Satori dari Partai NasDem, memperkuat dugaan adanya keterlibatan pihak legislatif dalam pengelolaan dana ini. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah dana CSR benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat atau menjadi modus terselubung untuk kepentingan politik?
*Dugaan Aliran Dana ke Anggota DPR*
KPK mulai mendalami kasus ini pada akhir 2024, setelah laporan menyebutkan adanya aliran dana CSR BI yang diduga diterima oleh anggota Komisi XI DPR RI. Satori, salah satu anggota komisi tersebut, mengakui bahwa seluruh anggota menerima dana CSR untuk kegiatan sosial di daerah pemilihannya (dapil).
Namun, ia membantah tuduhan bahwa dana tersebut digunakan sebagai bentuk suap. “Dana ini kami gunakan untuk kegiatan sosial, seperti sosialisasi program pemerintah di dapil masing-masing. Tidak ada praktik suap atau penyimpangan,” tegas Satori.
Pernyataan serupa juga disampaikan politisi Gerindra, Heri Gunawan, yang menyebutkan bahwa seluruh anggota komisi akan dipanggil untuk memberikan klarifikasi. Namun, Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun, membantah keras klaim ini. Menurutnya, dana CSR disalurkan langsung ke yayasan penerima tanpa melalui anggota DPR.
*Modus Operandi: Yayasan Sebagai Saluran Dana*
Pengamat politik dan hukum mencurigai adanya modus operandi melalui yayasan yang didirikan atau berafiliasi dengan politisi. Yayasan semacam ini sering kali menjadi jalur untuk mengalirkan dana secara terselubung.
Lakso Anindito, Sekjen IM 57+, menyoroti bahwa penyalahgunaan dana CSR melalui yayasan rawan terjadi, terutama menjelang tahun politik. “Yayasan yang memiliki afiliasi dengan politisi sering kali menjadi alat untuk menyamarkan aliran dana, baik untuk kepentingan pribadi maupun logistik politik,” ungkapnya.
Praktik ini juga dinilai semakin mencolok saat pemilu mendekat, di mana kebutuhan dana kampanye meningkat. Alokasi dana CSR yang seharusnya bersifat sosial pun berpotensi disalahgunakan.
*Kritik terhadap Peran Bank Indonesia*
Kasus ini juga memunculkan kritik terhadap peran Bank Indonesia dalam menyalurkan dana CSR. Sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab terhadap stabilitas moneter, Bank Indonesia dianggap melampaui mandatnya dengan menjalankan program sosial.
Bhima Yudhistira, ekonom senior, menyebut bahwa program CSR BI sebaiknya dihapuskan. “Bank Indonesia bukan lembaga sosial. Fokusnya seharusnya pada kebijakan moneter dan stabilitas ekonomi. Program CSR seperti ini membuka celah penyalahgunaan,” tegas Bhima.
*Lemahnya Pengawasan dan Transparansi*
Kasus ini mencerminkan kelemahan dalam pengawasan dan transparansi pengelolaan dana CSR. Meskipun ada regulasi yang mengatur transparansi penerima manfaat, pelaksanaannya dinilai tidak optimal.
Lakso Anindito menyarankan peningkatan pengawasan terhadap yayasan penerima dana CSR. “Harus ada mekanisme yang lebih ketat untuk memastikan bahwa dana digunakan sesuai tujuan. Transparansi penerima manfaat perlu ditingkatkan,” katanya.
Bhima menambahkan bahwa identifikasi penerima dana CSR harus lebih selektif. “Publik berhak mengetahui siapa saja penerima manfaat dari dana ini. Laporan penggunaan dana secara berkala juga harus diwajibkan,” ujarnya.
*Apa Langkah Selanjutnya?*
Untuk mencegah penyalahgunaan dana CSR, beberapa langkah strategis perlu segera dilakukan:
1. Peningkatan Pengawasan: Memastikan yayasan penerima dana bebas dari konflik kepentingan dengan politisi.
2. Transparansi dan Akuntabilitas: Mewajibkan laporan penggunaan dana yang diaudit secara independen.
3. Evaluasi Program CSR BI: Meninjau kembali relevansi program sosial oleh Bank Indonesia, mengingat tugas utamanya adalah menjaga stabilitas moneter.
4. Penegakan Hukum yang Tegas: KPK harus memastikan bahwa pelaku penyalahgunaan dana CSR, termasuk pihak legislatif, dapat diproses hukum tanpa pandang bulu.
Kasus dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia menjadi tamparan keras terhadap tata kelola dana sosial di Indonesia. Jika terbukti, kasus ini bukan hanya merusak kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap aliran dana publik.
Masyarakat kini menunggu langkah konkret dari KPK untuk mengusut tuntas kasus ini. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang lebih ketat diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan dana sosial di masa depan. (Tim/Red)